Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... lainnya -

Tidak mampu mendeskripsikan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Arti "Bhinneka" dari Lamongan

9 Agustus 2014   01:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:01 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337239" align="aligncenter" width="300" caption="suber gambar : siperubahan.com"]
[/caption]

Anda pernah makan Tahu campur atau Soto Lamongan? Atau mungkin Pecel Lele yang biasa kita temui di pinggir jalan?  Pernahkah anda berpikir, “Di mana letak kota Lamongan?”. Sebagian orang yang pernah mencicipi makanan tersebut mungkin tidak mengetahui atau memutuskan untuk tidak mau tahu. Satu hal yang pasti, makanan-makanan tersebut enak. Tapi saya tidak akan berbicara mengenai kuliner. Saya akan mencoba menceritakan Lamongan dari persepsi yang berbeda, sosial budaya.

Saya lahir di dan tumbuh besar di Lamongan. Daerah ini hanyalah sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur. terletak di dekat Mojokerto dan Tuban yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, di tempat inilah Gajah Mada lahir dan tumbuh menjadi seorang Patih yang melegenda. Di daerah ini pula, terdapat makam Sunan Derajat yang menjadi salah satu dari Walisongo. Walisongo selain dikenal sebagai penyebar agama Islam, mereka juga merupakan Dewan Penasehat Kesultanan Demak. Tidak lupa, di daerah ini pula Joko Tingkir dimakamkan.

Dikisahkan bahwa setelah kekalahan dalam perang dengan Sutawijaya dari Mataram, Sultan Hadiwijaya (gelar Joko Tingkir) tidak meninggal dunia. Beliau menderita luka parah dan memutuskan untuk pergi menemui gurunya di Gresik (versi lain mengatakan Madura). Perjalanan ditempuh melaui sungai Bengawan Solo dengan menaiki rakit yang didorong sekawanan buaya. Setelah pulih dan menambah kesaktian, Joko Tingkir berniat kembali menemui pasukannya yang masih setia dan membalas kekalahan. Namun, ditengah jalan beliau dicegat oleh gurunya tersebut dan menyarankan agar tidak melanjutkan niatnya untuk berperang. Beliau akhirnya berhenti dan menetap tempat yang bernama Pringgoboyo tersebut. di sana, Joko Tingkir berdakwah mengajarkan Islam dan dijuluki Ki Anggungboyo (Sang Penakluk Buaya).

Kultur Sosial

Masyarakat Lamongan memiliki beragam kultur yang unik dan kadang dianggap ‘aneh’ oleh masyarakat lain. Salah satu budaya yang kental adalah merantau. Sebenarnya budaya ini didorong oleh kondisi perekonomian di desa yang masih didominasi oleh sektor agraria. Namun, entah sejak kapan masyarakat Lamogan mulai berbondong-bondong merantau ke segala penjuru Tanah Air dan bahkan hingga ke luar negeri. Sebagian besar membuka warung sebagai usaha, tapi ada juga yang bekerja di pertambangan, buruh perkebunan, dan juga buruh bangunan. Etos kerja mereka sangat luar biasa dan hal ini diamini oleh banyak orang. Sebagai gambaran, kita bisa membayangkan seorang pengusaha warung pecel lele yang biasanya buka pada sore hari hingga larut malam. Mereka belanja di pasar saat subuh, mulai menyiapkan masakan sejak jam 1-2 siang, dilanjutkan membuka warung jam 5 sore, hingga pulang setelah membersihkan lokasi warung jam 2-3 pagi. Aktifitas ini berlangsung setiap hari sepanjang minggu dengan hari libur yang biasanya hanya 2 kali sebulan. Pekerjaan seperti ini saya pikir hanya bisa dikerjakan oleh manusia seperti Firaun yang tidak pernah sakit dan selalu bugar. Padahal, saya sendiri berasal dari tempat yang sama.

Budaya kedua adalah pernikahan. Di Lamongan, pihak pengantin perempuan adalah pihak yang mengajukan lamaran. Bukan sebaliknya seperti di tempat lain. Budaya ini terjadi bukan tanpa alasan. Masyarakat Lamongan memiliki harga diri yang tinggi terkait kehidupan sosial. Mungkin lebih tepat jika kita sebut gensgsi. Seorang laki-laki yang cukup umur tidak akan berpikir untuk berumah tangga jika belum memiliki ‘modal’ yang cukup untuk memaksa masyarakat berhenti membicarakan kekurangannya. Maksud saya, masyarakat Lamongan saat ini lebih menghargai seorang pengusaha yang sukses daripada seorang sarjana lulusan Universitas Indoensia sekalipun. Hal ini melecut gairah orang-orang perantauan untuk berani mendorong dirinya melebihi batas. Mereka sanggup menahan diri dan bersabar hidup dalam sebuah rumah kontrakan kecil yang sesak untuk ‘sekedar’ membagun istana di kampung halaman yang hanya mereka kunjungi setahun sekali. Sikap berlebihan dalam bekerja ini pada akhirnya menyita seluruh tenaga dan pikiran laki-laki hingga hampir tak terlintas untuk menikah. Kondisi ini memaksa para orang tua yang memiliki anak perempuan untuk ‘lebih aktif’ mencarikan jodoh yang, dengan alasan harga diri juga, sukses dalam usaha. Budaya ‘wanita meminta’ ini sebenarnya telah ada dari dulu. Bedanya, dulu masyarakat Lamongan memiliki tolok ukur yang berbeda dalam hal kesuksesan.

Budaya masyarakat Lamongan yang berada di perantauan juga cukup kental. Namun, bukan sikap primordialisme yang membanggakan daerah asal dan justru sebaliknya. Ketika pertama kali beranjak dari rumah untuk merantau, satu prinsip yang mereka bawa. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Sebuah pepatah yang terlihat ditelan bumi ketika kita melihat ‘orang Arab’ yang mencoba menggusur kita secara kultural. Pepatah ini masih dipegang erat orang Lamongan. Mereka hanya menampilkan kota asal mereka di spanduk warung dan KTP. Di luar itu, mereka tidak mengenal kata daerah asal atau daerah perantauan. Hanya satu kata, Indonesia.

Para perantau tidak tidak takut dengan perbedaan budaya dan bahasa. Banyak juga di antara mereka yang bahkan mengasai bahasa dan budaya daerah setempat. Di sana, mereka membaur dengan masyarakat dan menjunjung budaya setempat. Bahkan tidak jarang pula, pemilik warung di daerah seperti Kupang, NTT harus rela menaggung kerugian ketika segerombolan pemuda mabuk masuk dan makan gratis. Sampai saat ini, saya masih belum mengetahui apa yang membuat mereka bisa sedemikian sabar dalam menjalankan usaha. Mungkin saja mereka masih merasa keuntungan yang diperoleh masih cukup untuk menutup kerugian. Namun, saya lebih suka membayangkan bahwasanya mereka memang menyadari bahwa ‘mendidik’ masyarakat yang tertinggal pembangunan dan pendidikannya dari Jawa adalah dengan pendekatan budaya. Berikan contoh kesantunan, mereka akan segan, dan akhirnya membalas dengan kebaikan. Hal inilah yang membuat perantau dari Lamongan dapat diterima secara terbuka di manapun hampir tanpa konflik.

Balun

Nasionalisme masyarakat Lamongan juga tergambar jelas di daerah asal. Bukti yang menjadi keyakinan ucapan saya adalah fenomena kampung Pancasila di desa Balun, kecamatan Turi. Di tempat ini, terdapat Masjid, Gereja Kristen, dan Pura yang berdiri bersebelahan. Kampung ini sempat menjadi percontohan di masa orde baru ketika menggalakkan P4. Kehidupan warganya yang mencerminkan kerukunan antar-umat beragama benar-benar nyata. Mungkin kita (termasuk penulis) terbiasa beretorika mengenai ke-Bhinnekaan, namun tidak begitu bagi warga Balun. Bagi mereka, keragaman adalah udara yang dihirup melalui kerukunan untuk menghembuskan perpecahan keluar dari paru-paru bangsa.

14074983271702522079
14074983271702522079
sumber gambar : detiknews.com

Kerukunan tidak hanya tergambar dalam bangunan rumah ibadah yang bertetangga. Kegiatan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat seperti kerja bakti dan peringatan hari besar nasional juga dilakukan bersama tanpa membedakan aliran kepercayaan. Demikian juga saat adanya aktivitas di salah satu rumah ibadah. Saat umat muslim Sholat Ied, umat lain ikut membantu mengatur parkir dan menjaga ketenangan. Ketika natal, banser ikut membantu polisi bersama umat Hindu menjaga keamanan. Dan saat Nyepi, umat lain tidak berisik saat keluar rumah dan hanya keluar seperlunya.

1407498499561584374
1407498499561584374
Siswa MI Maarif NU Sunan Drajat berkunjung ke gereja di Balun. sumber gambar : pelajarnulamongan.wordpress.com

Melihat fenomena ini, saya merasa perlu untuk bercermin. Selama ini, saya lebih banyak sekedar menulis mengenai toleransi antar-umat beragama namun minim penghayatan dan praktek. Tapi warga Balun lain. Mereka tidak megenal Bhinneka dalam kata, karena Bhinneka adalah jiwa mereka. Masih banyak daerah dengan masyarakat yang mampu menjadi contoh arti kata “Bhinneka”. Tapi lebih banyak yang mulai luntur dalam fanatisme dan sentimen SARA. Semoga kompasioner lain dan pembaca secara umum yang memiliki pengalaman lain mengenai kerukunan dan arti ke-Bhinnekaan bersedia berbagi sebagai cermin bersama sebagai sebuah bangsa.

Salam damai Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun