Mohon tunggu...
Khoiron Katsir
Khoiron Katsir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Inovasi "Tingwe" dan Mimpi Semu di Balik Naiknya Cukai Rokok

8 Februari 2021   01:00 Diperbarui: 4 Oktober 2021   08:15 3461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum perokok di negeri ini lagi-lagi harus menelan pil pahit setelah pemerintah kembali menaikkan cukai rokok rata-rata 12,5 % per 1 Februari kemarin. 

Salah satu tujuan kenaikan ini jelas, yakni untuk menekan tingginya angka perokok di Indonesia. Tapi, apakah kenaikan cukai rokok akan membuat kapok para perokok untuk membeli rokok?

Menurut WHO setiap tahun ada sekitar 225.700 orang di Indonesia yang meninggal akibat merokok. Bukan angka yang kecil, bukan?

Secara eksplisit WHO mau bilang bahwa "ini lho tiap tahun ada banyak sekali orang meninggal akibat merokok. Jadi, bagi Anda yang masih rajin ngebul, mbok ya sadar lah, rokok dapat merenggut nyawa Anda".

Apakah perokok takut dengan peringatan semacam itu?, sepertinya tidak. Jangankan WHO, peringatan dari orang terkasih seperti orang tua dan pasangan sekalipun kadang nggak mempan sama sekali.

Bukankah hampir semua elemen sudah turun tangan untuk mengatasi tingginya angka perokok? Mulai dari keluarga perokok sendiri, akademisi, tokoh masyarakat, relawan atau pegiat anti rokok, hingga pemerintah. Namun, nyatanya belum membuahkan hasil yang siginifikan. Yang ada malah bertambah.

Bisa dilihat data misalnya hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI, bahwa selama lima tahun terakhir, prevalensi perokok anak Indonesia usia 10-18 tahun terus meningkat. 

Dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018. Berarti upaya pemerintah untuk mengurangi angka perokok melalui strategi menaikkan cukainya setiap tahun bisa dibilang gagal.

Berbagai upaya juga sudah dilakukan oleh pemerintah. Misalnya pencantuman gambar dan kalimat menyeramkan di bungkus rokok. Peringatan untuk tidak diperjual-belikan pada wanita hamil dan anak usia dibawah 18 tahun. 

Kalimat "No Smoking" di hampir semua ruang umum, lengkap dengan ancaman denda dan pidana bagi pelanggarnya. Dan sepertinya cara yang dianggap paling efektif adalah dengan menaikkan cukainya.

Setiap tahun cukai rokok dinaikkan. Sepanjang 2013–2020 sudah lima kali pemerintah menaikkan cukai rokok. Bila 2015 naik sebesar 8,72%, 2016 sebesar 11,9%, 2017 sebesar 10,54%, dan 2018 sebesar 10,04%. 

Itu artinya, tahun 2021 ini merupakan era kenaikan cukai rokok terbesar selama kurun waktu delapan tahun terakhir. Tapi, nyatanya tren perokok masih mengalami kenaikan, khususnya usia muda. 

Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi perokok muda mencapai 7,2%, tahun 2016 naik 8,8%, dan 2018 naik lagi menjadi 9,1%. Padahal, pemerintah menargetkan tren prevalensi perokok muda usia 10-18 tahun sebesar 5,4 persen.

****

Semenjak pandemi melanda, saya melihat perilaku sebagian perokok mulai berubah. Mereka mulai mengurangi konsumsi rokok. Misalnya teman saya di kantor, sebut saja namanya Bambang (bukan nama sebenarnya). 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Sebelum pandemi biasanya dia rajin mengantongi rokok bungkusan merk Suraya. Semenjak pandemi, ia terlihat rajin mengecer rokok batangan  yang seharga dua ribu per batang itu.

Belakangan saya lihat ia mulai hijrah ke rokok lintingan yang biasa disebut "tingwe" (ngelinting dewe). Tembakau tingwe yang ia racik saya lihat berbeda dengan yang dipakai para orang tua biasanya. 

Bambang melinting menggunakan alat khusus yang sebelumnya belum pernah saya lihat, terlihat lebih praktis dan simple. Rasa tembakaunya pun aromanya berbeda. Saat itu ia membawa tembakau rasa Suraya.

Saya pun mencoba membuat dengan alat yang ia bawa. Benar saja, sangat mudah melintingnya, hasilnya rapi mirip rokok pabrikan. Rasanya pun 98 persen mirip rokok pabrikan. 

Bambang bilang tembakau tersebut per-100 gram harganya 20 ribu, alatnya 8 ribu, kertasnya 2 ribu, lem no toxic 3 ribu. Dan harap tahu, 100 gram tembakau itu bisa disulap menjadi 90-100 batang rokok. Dalam hati saya kala itu, "boleh juga nih jadi solusi ditengah pandemi, kalau pun nanti harga rokok naik lagi, nggak masalah".

Karena penasaran, saya pun datang ke toko tembakau yang ditunjukkan Bambang. Saat datang ke toko itu, saya melihat antrian pembelinya mengular. 

Dari yang usia muda  sampai yang tua. Menariknya, di toko itu hampir semua rasa rokok pabrikan tersedia. Saya pun penasaran dengan yang rasa Sempurna A Mil. 

Saya beli lengkap dengan alatnya, lem, papir (kertas rokok), dan ada juga filter/gabus rokoknya. Dengan melihat antrian yang panjang, menariknya rasa-rasa yang tersedia, serta harga yang murah meriah, saya menduga angka penikmat rokok tingwe ini bakal terus naik.

Di tengah ekonomi sulit dan mahalnya rokok pabrikan, rokok tingwe mungkin dianggap jadi solusi buat para kaum perokok di negeri ini. 

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka perokok hanya akan jadi harapan semu. Perokok selalu menemukan jalannya untuk terus merokok.

Kita tahu tersedia rokok elektrik bernama vapor dengan varian rasa yang nenggoda. Nah, Rokok tingwe ternyata juga tersedia rasa sebagaimana vapor. Ada rasa buah-buahan, kopi, cappucino, vanila dll. Mulai dari yang biasa, hingga mint dan ice.

Penjual tingwe pun merasa aman karena barang mereka juga bercukai, walau ada sebagian tembakau yang mereka beli langsung dari petani yang tentu tidak bercukai. 

Kita tahu, kenaikan cukai rokok tahun 2021 ini tidak berlaku bagi rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), maka otomatis tidak akan berpengaruh pada harga rokok tingwe.

Maka, di masa masa yang akan datang peminat tingwe ini sepertinya akan terus mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan cukai rokok pabrikan dari tahun ke tahun. Bisa jadi lima tahun lagi harga rokok mencapai 50 ribu per-bungkus. 

Rokok tingwe dengan inovasi rasa dan alat pembuatannya yang praktis akan menemukan momentumnya. Saat itu rokok tingwe mungkin akan terjual laris dan berjejer dengan rokok pabrikan di etalase-etalase toko.

Mungkin saat ini belum banyak perokok yang tahu tentang inovasi terbaru rokok tingwe. Seperti kemarin saat saya berkunjung ke rumah seorang teman, ia kaget saat tahu tembakau yang saya bawa rasanya anggur merah. Ia bilang baru tahu ada tembakau rasa buah. Ia makin heran saat saya tunjukkan cara bikin rokok sendiri secara simple dan cepat.

Semakin banyak perokok tahu tentang inovasi terbaru rokok tingwe ini, bisa jadi akan semakin banyak pula perokok hijrah ke tingwe. Bersamaan dengan itu, sepertinya akan semakin sulit bagi pemerintah untuk menekan tingginya angka perokok.  

***

Alasan orang merokok bermacam-macam. Ada yang merasa lebih percaya diri. Merasa nyaman dan tenang. Solusi saat salting (salah tingkah). 

Bahkan, kadang rokok dianggap jadi sebab datangnya inspirasi dan gagasan, hingga pemecah kebuntuan berpikir. Bila demikian benar adanya, bisa jadi itu menjadi semacam ideologi bagi seorang perokok. 

Tentu hanya akan jadi mimpi semu bagi pemerintah untuk menekan tingginya angka perokok di negeri ini, sekalipun cukainya dinaikkan selangit. Wallahu A’lam Bisshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun