Setiap tahun cukai rokok dinaikkan. Sepanjang 2013–2020 sudah lima kali pemerintah menaikkan cukai rokok. Bila 2015 naik sebesar 8,72%, 2016 sebesar 11,9%, 2017 sebesar 10,54%, dan 2018 sebesar 10,04%.Â
Itu artinya, tahun 2021 ini merupakan era kenaikan cukai rokok terbesar selama kurun waktu delapan tahun terakhir. Tapi, nyatanya tren perokok masih mengalami kenaikan, khususnya usia muda.Â
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi perokok muda mencapai 7,2%, tahun 2016 naik 8,8%, dan 2018 naik lagi menjadi 9,1%. Padahal, pemerintah menargetkan tren prevalensi perokok muda usia 10-18 tahun sebesar 5,4 persen.
****
Semenjak pandemi melanda, saya melihat perilaku sebagian perokok mulai berubah. Mereka mulai mengurangi konsumsi rokok. Misalnya teman saya di kantor, sebut saja namanya Bambang (bukan nama sebenarnya).Â
Sebelum pandemi biasanya dia rajin mengantongi rokok bungkusan merk Suraya. Semenjak pandemi, ia terlihat rajin mengecer rokok batangan  yang seharga dua ribu per batang itu.
Belakangan saya lihat ia mulai hijrah ke rokok lintingan yang biasa disebut "tingwe" (ngelinting dewe). Tembakau tingwe yang ia racik saya lihat berbeda dengan yang dipakai para orang tua biasanya.Â
Bambang melinting menggunakan alat khusus yang sebelumnya belum pernah saya lihat, terlihat lebih praktis dan simple. Rasa tembakaunya pun aromanya berbeda. Saat itu ia membawa tembakau rasa Suraya.
Saya pun mencoba membuat dengan alat yang ia bawa. Benar saja, sangat mudah melintingnya, hasilnya rapi mirip rokok pabrikan. Rasanya pun 98 persen mirip rokok pabrikan.Â
Bambang bilang tembakau tersebut per-100 gram harganya 20 ribu, alatnya 8 ribu, kertasnya 2 ribu, lem no toxic 3 ribu. Dan harap tahu, 100 gram tembakau itu bisa disulap menjadi 90-100 batang rokok. Dalam hati saya kala itu, "boleh juga nih jadi solusi ditengah pandemi, kalau pun nanti harga rokok naik lagi, nggak masalah".