Sejak diterapkannya Desentraliasasi dan Otonomi Daerah yang merupakan produk dari era reformasi 1998 yang belum juga dapat menjadikan kesejahteraan bagi rakyat. Desentralisasi dan otonomi daerah ini seharusnya dapat membawa masyarakat semakin leluasa untuk menuntut kesetaraan dan berekspresi di dalam ruang lingkup politik. Namun nyatanya tidak sedemikian, hal tersebut dipengaruhi adanya penguasaan yang didominasi oleh  elit politik dan dipengaruhi golongan darah biru lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (6) yang menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui kebijakan otonomi tersebut memang dapat menghadirkan berbagai kebaikan di dalamnya, akan tetapi juga memiliki sisi gelap. Seperti penyalahgunaan kekuasaan dan dinasti politik sehingga di khawatirkan akan menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Penulis menyatakan demikian, karena berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri yang mengatakan bahwa sejak tahun 2005 sampai 2024 terdapat sebanyak 32 persen kasus politik dinasti dalam Pilkada.
Berdasarkan data di atas, praktik politik kekerabatan atau yang biasa disebut dinasti politik yang dapat menjadikan demokrasi menuju peti mati. Hal itu dikarenakan  menutup jalan masyarakat sipil untuk  memperoleh hak dipilih dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Ketika membahas sebuah praktik politik kekerabatan atau yang biasa dikenal dengan politik dinasti salah satunya yang sampai sekarang masih menjadi sorotan adalah politik dinasti Fuad Amin di kabupaten Bangkalan. Ia merupakan mantan Bupati Kabupaten Bangkalan yang beruntung memenangkan Pilkada Bangkalan selama dua periode secara berturut-turut yaitu periode 2003-2013. Kemudian setelah memimpin Bangkalan selama dua periode, ia menjadi calon anggota DPRD Kabupaten Bangkalan dan terpilih sekaligus menjadi ketua DPRD Kabupaten Bangkalan. Kemudian di dalam periode yang sama, anaknya sebagai calon Bupati Kabupaten Bangkalan berhasil memenangkan kontestasi Pilkada Bangkalan Periode 2013-2018, meneruskan kepemimpinan ayahnya. Seorang ayah dan anak berhasil menguasai dua lembaga paling krusial, yaitu legislatif dan eksekutif di dalam satu periode yang sama. Tidak berhenti disitu, dalam periode selanjutnya 2018-2023 giliran sang adiklah yang dijadikan calon Bupati Bangkalan dan berhasil memenangkan Pilkada Bangkalan 2018.
Kelanggengan kekuasaan tersebut di sebabkan kelincahan Fuad Amin bermain dalam kaum Blater dan Pesantren. Kaum blater merupakan golongan sosial yang di jadikan sebagai patokan masyarakat. Kaum blater  juga kelompok orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Madura, khususnya di Bangkalan. Dalam lingkungan pesantren sudah tidak dapat dipertanyakan lagi, sebab ia merupakan keturunan Kyai di Bangkalan. Dengan memanfaatkan garis keturunannya yang serta nama besar dan wibawa " Syaichona Kholil Bangkalan" untuk dapat mengontrol masyarakat dalam menentukan pilihannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa memang masyarakat Madura khususnya Bangkalan sangat kental dengan agama Islam serta kepatuhannya terhadap guru atau orang yang memiliki ilmu agama (Kyai). Dengan fakta tersebut maka akan banyak masyarakat yang akan berpihak kepadanya.
Hal ini perlu segera diselesaikan agar masyarakat paham akan bedanya politik praktis dengan dimensi keagamaan. Agar masyarakat awam berhenti menganggap keberadaan politik dinasti ini sebagai hal yang wajar. Dengan adanya golongan golongan kuat tersebut yang mendominasi politik di Bangkalan maka dari itu penting untuk dibahas untuk dapat melihat lebih dalam serta  untuk menjadikan masyarakat lebih demokratis di masa yang akan datang.
 Fuad Amin Imron Sebagai Aktor di Balik Langgengnya Praktik Politik Dinasti Bangkalan.
Fuad Amin Imron adalah anak laki-laki yang sangat diharapkan  oleh keluarga dan masyarakat. Hal itu dikarenakan bagi masyarakat Madura anak laki-laki merupakan generasi penenrus dan calon pengganti untuk melanjutkan kepemimpinan setelah wafatnya sang Raja atau Kyai. Fuad Amin Imron lahir di Bangkalan tepatnya tanggal 1 September 1948.
Kurang lebih 20 tahun sudah Bangkalan di kuasai oleh pemimpin dengan praktik politik kekerabatan. Terhitung sejak kepemimpinan Fuad Amin Imron pada tahun 2003. Ia memimpin selama dua periode secara berturut-turut bukan tanpa alasan. Fuad Amin Imron adalah tokoh sentral di Madura khususnya di Bangkalan pada masa itu. layaknya seorang aktor dalam sebuah pertunjukan, ia mampu berperan sebagai apapun baik di golongan tokoh agama (Kyai) maupun di golongan blater. Keanekaraagaman yang dimiliki inilah yang mampu melanggengkan dirinya sebagai Bupati Bangkalan selama 10 tahun atau dua periode. Potensi tersebut terjadi bukan tanpa alasan, latar belakang yang dimiliki oleh Fuad Amin Imron ini sendiri yang tidak perlu ditanyakan, latar belakangnya yang merupakan keturunan dari Syaikhona Kholil adalah salah satu faktor yang mempengaruhinya untuk dianggap sebagai tokoh sentral di Bangkalan. Bukan hanya dari sisi keturunan saja, pengalaman ia dalam proses pendidikan, organiasasi dan bergaul di golongan blater juga merupakan salah satu faktor pendukung.
Kelanggengannya sebagai penguasa di Bangkalan juga di faktori akan kedekatannya dengan kaum blater. Para kaum blater inilah yang memback up Fuad Amin Imron  sebagai Bupati. Selain itu juga di pengaruhi oleh para kepala desa serta Ormas dan LSM yang mayoritas berpihak kepada Fuad Amin Imron.
Setelah 2 periode lamanya menjadi Bupati Bangkalan, selanjutnya giliran sang anaklah yang menjadi penerus dalam ambisinya menduduki kursi Bupati Bangkalan. Makmun Ibnu Fuad atau yang akrab disebut Ra Momon, adalah seorang pemuda 25 tahun yang sebelumnya merupakan anggota DPRD Kabupaten Bangkalan. Dengan mencalonkan anaknya sebagai calon Bupati Bangkalan pada Pilkada 2012 maka akan  terus melanggengkan dinasti politiknya. Tidak berhenti disitu, jabatannya sebagai Bupati Bangkalan yang telah habis masanya alih-alih berhenti dan pensiun, Fuad Amin Imron ini menjadi calon DPRD Kabupaten Bangkalan dan sekaligus terpilih menjadi Ketua DPRD Bangkalan. Sebuah cerita yang tidak mungkin bisa dilupakan, dimana seorang ayah dan anak menempati dua lembaga krusial di Bangkalan yaitu Legislatif dan Eksekutif dalam satu periode yang sama. Namun kedudukan Fuad Amin Imron di kursi ketua DPRD Kabupaten Bangkalan tidak berlangsung lama, akibat  terjerat kasus korupsi. Berikut beberapa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh  Fuad Amin Imron sepanjang ia  menjadi penguasa di Bangkalan:
- Tindak pidana korupsi menerima dana suap dari PT.MKS sebanyak Delapan Belas Miliar Lima Puluh Juta Rupiah sejak tahun 2009- 2014 dan mengarahkan tercapainya sebuah Perjanjian Konsorsium dan Perjanjian Kerjasama antara PT MKS dan PD SUMBER DAYA, dan memberikan dukungan untuk PT MKS kepada Kodeco terkait permintaan penyaluran gas alam ke Gili Timur, dan penerimaan uang tersebut diberikan secara bertahap hingga ia menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan.
- Tindak pidana korupsi  melakukan pemotongan realisasi anggaran SKPD pemkab Bangkalan sekitar 10% sejak 2004-2010 sekitar Seratus Lima Puluh Sembilan Miliar Seratus Enam Puluh Dua Juta Rupiah.
- Tindak pidana korupsi suap penempatan calon PNS di kabupaten Bangkalan dari tahun 2003-2010 senilai dua Puluh Miliar Rupiah.
Satu periode telah berlalu, kini giliran sang adiklah yang maju dalam Pilkada 2018, Abdul Latif Amin Imron atau yang biasa disapa Ra Latif. Ra Latif berhasil menang dalam Pilkada 2018 dan menjadi Bupati Bangkalan periode 2018-2023. Namun menjelang akhir masa jabatannya ia juga terjerat kasus korupsi jual beli jabatan di tahun 2022.
Praktik Politik Dinasti dan Oligarki Menciderai Sistem Demokrasi Bangkalan.
Sebuah kekuasaan dapat mengalami penurunan kontrol apabila di campuri hubungan kekerabatan dalam suatu institusi politik. Lalu apabila kekuasaan cenderung kepada dinasti maka konsentrasi kekuasaan hanya akan terfokus pada titik titik tertentu saja. Dan pada akhirnya kelompok kelompok elit politik itu hanya memonopoli kekuasaan dan demokrasi hanya sebagai formalitas prosedural saja.
Praktik politik dinasti seperti halnya pisau bermata dua, pada satu sisi merampas hak orang lain yang berpotensi menggunakan cara cara yang kurang benar dan melanggar prinsip prinsip hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Secara yuridis memang tidak ada larangan untuk setiap orang menggunakan hak politiknya untuk dikaitkan dengan kekerabatan atau dinasti, namun harapan dari adanya demokrasi adalah untuk jauh lebih adil dan lebih baik ke depannya.
Dalam praktik politik dinasti yang dilakukan oleh Fuad Amin Imron, hukum yang ada di Bangkalan mengalami stagnan karena tidak ada payung hukum yang memberikan supremasi hukum. Berkat kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu mengendalikan hukum sesuai dengan keinginannya sehingga ia kebal hukum. Dan hal tersebut merupakan tindakan menyalahgunkan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah.
Kelanggengan kekuasaan dan politik dinasti serta kekebalan hukum yang dimiliki oleh Fuad Amin Imron tentunya juga menyebabkan jajaran pemerintah di bawahnya cenderung melakukan tindakan yang sewenang wenang. Hal itu di karenakan lemahnya penegakan hukum di Bangkalan pada masa itu yang juga di pengaruhi oleh Fuad Amin Imron. Layaknya simbiosis mutualisme, Fuad dengan kepala kepala desa di Kabupaten Bangkalan terlalu harmonis sehingga pemerintahan yang cenderung menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme berlarut larut terlalu lama. Dibawah kepemimpinan Fuad Amin Imron, para kepala desa di Kabupaten Bangkalan tetap merasa tenang meskipun bertindak sewenang-wenang dan korup serta merasa aman dari tindakan hukum karena berada dibawah naungan Fuad.
Jadi, terdapat dampak negatif yang begitu banyak dalam praktik politik dinasti dan oligarki yang dilakukan oleh Fuad Amin Imron. Ketika Fuad Amin Imron sudah mendekam di penjara akibat tindakan korupsinya dan tidak mendominasi lagi di Bangkalan banyak kasus kepala desa yang terungkap. Berikut beberapa kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Bangkalan pasca lengsernya Fuad dari kekuasaan:
- Mantan Kepala Desa Kelbung, Kecamatan Galis
Mantan Kades Kelbung yang berinisal (S) ini memimpin periode dari 2017 hingga 2021, melakukan korupsi sebesar Rp. 2 Miliar.
- Mantan Kepala Desa Dlambah Dajah, Kecamatan Tanah Merah
Mantan Kades Dlambah Dajah berinial (SA) ini melakukan tindakan korupsi sebesar Rp. 500 Juta.
- Kepala Desa Tanjung Bumi, Kecamatan Tanjung Bumi
Kepala Desa Tanjung Bumi berinisal (MR) menggelapkan APBDesa sebesar Rp. 612.538.720 (Enam ratus dua belas juta lima ratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh rupiah).
- Kepala Desa Karang Gayam, Kecamatan Blega
Kepala Desa Karang Gayam berinisal R melakukan korupsi bersama 3 perangkat desa berinisal ZA, US, dan MH, mereka melakukan penggelapan APBDesa sebesar Rp.587.339.000 ( Lima ratus delapan tujuh juta tiga ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).
- Sekretaris Desa Gili Anyar, Kecamatan Kamal
Sekretaris Desa Gili Anyar berinisal MI melakukan tindakan korupsi sebesar Rp. 190 Juta.
Berdasarkan data diatas, menurut penulis praktik politik dinasti dan oligarki di Bangkalan ini dapat menciderai demokrasi. Selain itu juga berdampak kepada hak masyarakat sipil dalam berpartisi dalam dunia politik. Disisi lain juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Begitupun pemerintah dibawahnya seperti kepala desa yang berdasarkan data korupsi diatas dapat dikatakan bahwa apabila pemerintah diatasnya sewenang wenang maka pemerintahan yanga ada dibawahnya juga mengikutinya atau bahkan lebih parah.
Praktik politik di Bangkalan mengarah kepada kelanggengan kekuasaan atau yang biasa disebut politik dinasti. Hal itu membuat penguasa di Bangkalan hanya di kuasai dan di dominasi oleh garis keturunan bani Kholil saja. Hal tersebut tentu saja harus dihilangkan agar tercipta kebersamaan serta kesetaraan dalam panggung politik, hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Selain menciptakan pemerintahan yang oligarki, politik dinasti juga dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme tidak dapat terhindarkan. Pilkada Bangkalan 2024 merupakan waktu yang tepat untuk merevolusi model politik Bangkalan. Panggung politik Bangkalan harus di bongkar dan di tata ulang menjadi panggung bebas yang akan diikuti oleh pihak mana saja, bukan hanya golongan elit politik tetapi juga masyarakat sipil tanpa memandang status keturunan. Kontestasi pilkada 2024 harus tercipta politik liberal (bebas) yang dapat membuka peluang besar bagi masyarakat sipil untuk ikut andil dalam panggung politik. Dengan demikian, Bangkalan akan terhindar dari politik dinasti yang didominasi oleh segelintir orang saja yang di pandang dari sisi keturunan saja yang selama ini berjalan kurang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H