Mohon tunggu...
Siti Khoiriah Yasin
Siti Khoiriah Yasin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Di atas Langit, masih ada Langit.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Playing God and Playing Victim

1 Mei 2020   02:42 Diperbarui: 18 Mei 2020   06:37 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
escuelamunicipaldeajedrez.blogspot.com

Problematika kehidupan manusia merupakan satu paket dengan eksistensi dirinya. Dapat dipastikan setiap orang punya masalah seperti berbuat kesalahan, kesulitan, kegagalan, ketidakharmonisan, dan lain sebagainya.

Bukan jaminan seorang A dan B punya masalah yang sama, kemudian menggunakan cara penyelesaian yang sama pula. Tergantung situasi dan kondisi serta metode pendekatan yang dipakai seseorang.  

Diantara metode penyelesaian masalah seperti, preventif (mencegah potensi timbulnya masalah baru), impulsif (reaksi spontan dalam bertindak),  atau avoiding (menghindar dengan menjauhi sumber masalah).

Kita memang lebih mudah untuk menilai tindakan yang dilakukan seseorang ketika sedang menghadapi atau menyelesaikan masalahnya. Sedangkan bila berada di posisi tersebut, belum tentu tindakan kita sesuai dengan apa yang pernah diucapkan.

Layaknya penonton sepak bola, yang mudah berkomentar selama pertandingan dengan ejekan, makian dan umpatan disaat pemain belum mencetak gol. Padahal belum tentu lebih baik jika ikut bermain.

Ada 2 (dua) kategori pemain yang sering muncul saat ini :

Playing God

Playing God (bersikap seolah-olah sebagai Tuhan), menentukan dosa seseorang sekaligus ganjaran neraka di akhirat kelak. Sangat ironis, karena sudah keluar batas dengan berani menjangkau teritori hak prerogatifnya Tuhan. Keyakinan pada diri sendiri sudah masuk level bersih dan punya wewenang untuk menjudge (menghakimi) orang lain.

Kesalahan seseorang bukan berarti dibenarkan, salah tetap salah jika memang itu sudah jelas melanggar ketentuan yang kita ketahui bersama. Namun salahnya orang lain bukan berarti dengan ringannya lisan kita mengumbar kalimat celaan yang menyudutkan, menyalahkan, sampai menghakimi berikut dengan serangkaian akibat yang bakal diterima orang tersebut. Kewajiban sesama manusia hanyalah mengingatkan dengan menasehati, bukan memaksa agar mengikuti kemauan versi benarnya kita.

Pengetahuan akan kebenaran di dunia pada dasarnya bersifat relatif, karena perspektif manusia berbeda-beda dalam menafsirkan suatu nilai yang hakiki dari Tuhan.

contoh kasus yang menurut saya sampai sekarang masih saja diulas oleh media yaitu peristiwa tersebarnya video asusila seorang vokalis band yang sangat terkenal dengan 2 artis wanita (tidak perlu saya sebutkan nama secara eksplisit). Saya bukan fans atau haters, tetapi hanya sebatas warga biasa yang melihat warga lainnya. Entah media kurang kreatif sehingga kekurangan ide untuk berita atau memang hanya itu yang bisa menaikkan rating secara cepat ?. Sehingga masih saja muncul di laman berita yang memberitakan aktifitas mereka tetapi dengan melakukan flashback kejadian masa lalu yang sebenarnya tidak ada hubungannya juga dengan mengungkit-ungkit.

Cukup sudah mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat kala itu dan kita cukup sekedar ambil pelajaran dari kekeliruan orang lain agar menjadi warning bagi hidup kita. Sekarang mereka eksis dan berkarier kembali dengan yang dilakukan masih sesuatu hal yang positif. Toh..setiap orang pasti punya 2 (dua) sisi, baik dan buruk. Tidak ada salahnya kita mengambil hal baik yang punya nilai manfaat.

Seandainya posisi kita hanyalah sebagai netizen, penonton, atau bukan yang berada di lingkungan orang tersebut, sebaiknya menahan diri untuk tidak berkomentar. Karena kita tidak tahu pasti permasalahannya dan tidak tahu persis akan akhir dari kebenarannya.

Playing Victim

Ciri playing victim adalah orang yang suka bermain drama dengan seolah-olah dirinya adalah yang teraniaya atau korban, jauh dari kata salah, mudah menunjuk dan mengkambing hitamkan orang lain sebagai penyebab tunggal dari masalah yang terjadi.

Tipe orang seperti ini mudah sekali dijumpai dikalangan mana saja. Terutama di lingkungan sosial yang memiliki tingkat kompetisi dan punya kepentingan akan perihal citra diri yang harus selalu terlihat baik.

Biasanya prilaku orang yang sedang playing victim, sibuk kesana kemari dalam mencari dukungan dari orang lain. Sehingga menceritakan kesalahan dan kejelekan seseorang dengan sebelumnya mengcover terlebih dahulu kesalahan dirinya sendiri agar tidak nampak.

Apabila drama yang dimainkan berhasil, maka akan ada pengikut yang tiba-tiba ikut membenci.

Pengikut yang mudah percaya hanya lewat kata-kata tanpa berusaha menilai secara komprehensif dari sisi pihak lain, maka cara "keroyokan" menjadi senjata kuat bagi si playing victim.

Sedangkan faktanya, semakin seorang playing victim butuh dukungan orang banyak, justru menunjukkan ketakutan yang ada dalam dirinya.

Orang yang yakin dirinya tidak melakukan kesalahan, tidak takut berdiri sendiri tanpa ada orang lain disekitarnya. Baginya, sebanyak apapun jumlah manusia bukanlah penentu benar dan salah.

Lalu bagaimana cara menghadapi playing victim ?

Pertama, berkomunikasi secara baik-baik untuk menyelesaikan masalah. Apabila orang tersebut susah untuk diajak kompromi selama pembicaraan, dan cenderung memantik masalah semakin besar, maka segera hindari saja. Karena tidak ada misi yang baik untuk ikut bersama-sama mencari solusi untuk saling memperbaiki.

Kedua, tidak perlu menghabiskan waktu menjelaskan kepada para pengikutnya yang sejak awal sudah ikut memberi stempel buruk, gunakan waktu untuk meningkatkan kualitas diri kita ke arah yang lebih positif.

Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang mencintaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak akan percaya itu. (Ali bin Abi Thalib)

Pada akhirnya..playing god atau playing victim, merupakan prilaku negatif yang hanya akan memberikan dampak merugikan. Titik fokus yang hanya berat sebelah pada satu pihak saja, menyebabkan lupa berintrospeksi terhadap diri sendiri. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini.

Sebagus-bagusnya orang pasti ada jeleknya dan sejelek-jeleknya orang, pasti ada bagusnya.

[S K Y]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun