Mohon tunggu...
Khofsah TilawahSafrudin
Khofsah TilawahSafrudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Minat saya terhadap bahasa dan seni menjadi alasan saya untuk belajar menulis dan bebas berekspresi. Membagi cerita melalui karya dan tulisan, selalu mengingatkan saya kembali bahwa hidup untuk meninggalkan jejak di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Sastra: Film "Ancika: Dia yang Bersamaku 1995"

30 Juni 2024   22:18 Diperbarui: 30 Juni 2024   22:22 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Industri perfilman Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di tengah arus globalisasi, film-film Indonesia mulai menemukan identitas dan kekhasannya sendiri, mengangkat tema-tema lokal yang sarat dengan budaya dan kearifan lokal. Pada tahun 2021 lalu, beberapa film Indonesia berhasil mencuri perhatian publik da mendapatkan penghargaan bergengsi. Misalnya, "Penyalin Cahaya" yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja berhasil memenangkan beberapa penghargaan internasional termasuk di Busan International Film Festival. Film ini mengangkat isu sosial yang relevan dan disajikan dengan pendekatan sinematik yang kuat. Selain itu, film "Yuni" karya sutradara Kamila Andini yang menyoroti kehidupan remaja perempuan di Indonesia juga mendapatkan penghargaan di Toronto International Film Festival.

Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 adalah sebuah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2023, disutradarai oleh Dedi Setiadi dan dibintangi oleh aktor-aktor muda berbakat. Film ini diadaptasi dari novel populer karya Pidi Baiq, yang sebelumnya dikenal lewat "Dilan 1990" dan sekuelnya. Film ini mencoba untuk mengangkat nuansa romantis tahun 90-an dengan sentuhan nostalgia yang kuat, serta menyampaikan pesan tentang cinta, persahabatan, dan perjalanan menuju kedewasaan.

ANALISIS FILM

Plot dan Cerita

Film ini mengisahkan tentang Ancika, seorang gadis remaja yang menjalani kehidupan sekolahnya dengan segala dinamika percintaan dan persahabatan. Cerita berpusat pada hubungannya dengan Dilan, seorang remaja yang karismatik dan sering kali penuh kejutan. Melalui perjalanan mereka, penonton diajak untuk mengenang kembali masa-masa SMA dengan segala romantismenya. Menggunakan pendekatan formalistik, kita bisa menilai plot Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 berdasarkan struktur naratif dan elemen intrinsik. Alur cerita yang kuat dan menarik, meski ada beberapa bagian yang terasa lambat dan bertele-tele. Struktur naratif yang digunakan cenderung linear dengan konflik-konflik yang terkesan klise dan mudah ditebak. Namun, momen-momen emosional dalam film ini berhasil disampaikan dengan baik melalui dialog yang natural dan penggunaan simbolisme yang efektif.

Aktor dan Akting

Penampilan para aktor, terutama pemeran utama, sangat mengesankan. Mereka mampu menghidupkan karakter-karakter yang ada di dalam novel dengan baik. Chemistry antar Ancika dan Dilan terasa natural dan meyakinkan, menjadikan hubungan mereka terasa nyata dan penuh perasaan. Dukungan dari aktor-aktor pendukung juga cukup kuat, meskipun ada beberapa yang tampil kurang maksimal dan cenderung datar. Dari sudut pandang realisme, akting para pemain harus dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk menampilkan karakter yang meyakinkan dan realistis. Penampilan para aktor utama memang patut diapresiasi karena berhasil membawa karakter mereka hidup dengan cara yang sangat realistis dan manusiawi. Mereka berhasil menggambarkan kerumitan emosi remaja, yang mencakup kebahagiaan, kesedihan, ketidak pastian, dan cinta pertama.

Sinematografi dan Pengarahan

Sinematografi film ini patut diacungi jempol. Pengambilan gambar yang indah, terutama dalam adegan-adegan di luar ruangan, berhasil menangkap esensi tahun 90-an dengan sangat baik. Penggunaan warna dan pencahayaan memberikan sentuhan nostalgia yang kuat, membawa penonton kembali ke era tersebut. Sutradara Dedi Setiadi berhasil menyampaikan visi dan pesan film dengan jelas, meskipun ada beberapa momen yang terasa terlalu melodramatis. Dari perspektif semiotika, kita bisa melihat bagaimana sinematografi dan penggunaan simbol-simbol visual dalam film ini membantu menyampaikan pesan dan tema. Misalnya, penggunaan warna-warna pastel dan pencahayaan alami membantu menekankan nuansa nostalgia dan romantis dari era 90-an. Simbol-simbol seperti surat cinta dan kaset musik klasik digunakan untuk memperkuat tema cinta dan persahabatan yang tulus.

Musik dan Suara

Soundtrack film ini berhasil memperkuat nuansa romantis dan nostalgia yang ingin disampaikan. Musik yang digunakan tidak hanya mengiringi adegan-adegan penting, tetapi juga mampu menggugah emosi penonton. Namun, beberapa kali penggunaan musik terasa berlebihan dan kurang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi, yang dapat mengurangi kesan emosional yang ingin disampaikan. Dengan pendekatan psikoanalisis, kita bisa melihat bagaimana musik dan suara berperan dalam mempengaruhi emosi dan psikologi penonton. Musik yang dipilih sering kali mencerminkan keadaan emosional karakter dan membantu penonton merasakan apa yang dirasakan oleh karakter. Namun, jika digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, musik bisa mengganggu dan mengurangi dampak emosional yang seharusnya.

SIMPULAN

Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 adalah sebuah film yang berhasil mengangkat nuansa romantis dan nostalgia tahun 90-an dengan baik. Meskipun terdapat beberapa kelemahan dalam alur cerita dan penggunaan musik, penampilan para aktor dan sinematografi yang memukau membuat film ini layak untuk ditonton. Bagi para penggemar novel Pidi Baiq, film ini memberikan adaptasi yang cukup memuaskan dan menghidupkan kembali karakter- karakter yang sudah akrab di hati mereka. Secara keseluruhan, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 adalah sebuah sajian yang manis dan menghangatkan hati, meskipun tidak tanpa kekurangan. Melalui berbagai pendekatan kritik sastra seperti formalistik, realisme, semiotika, dan psikoanalisis, kita dapat melihat bahwa film ini memiliki banyak lapisan yang kaya akan makna dan nilai estetis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun