Ketiga, dari segi jangka waktunya, yaitu berapa batas waktu yang ditentukan untuk menyatakan suatu bidang tanah tersebut terantar dilihat dari usaha yang seharusnya sudah dilakukan leh yang bersangkutan.
Seperti pada penjelasan sebelumnya, pengelolaan dapat mengambil dua bentuk dasar, yang pertama, pemilik tanah mengelola sendiri tanah yang dimilikinya, dan kedua, pemilik tanah meyerahkan tanah kepada pihak lain untuk kemudian dikelola. Pengelolaan dalam bentuk yang pertama tidak menimbulkan kalangan ulama berbedan pendapat. Dalam penjelasan ini mengolah sendiri bukan berarti keseluruhan kegiatan pengolahan dilakukan sendiri secara teknis ataupun fisik oleh pemilik tanah tersebut, melainkan ia dapat mempekerjakan orang lain untuk mengolah tanah tersebut dengan menggunakan sistem upah. Sedangkan bentuk pengolahan yang kedua, yaitu dengan cara menyerahkkan kepada pihak lain ini dapat di bagi menjadi dua macam penyerahan yakni, Â pertama, penyerahan secara cuma-cuma atau gratis sebagai rasa persaudaraan dan kemurahan hati. Dan yang kedua, penyerahan dengan imbalan, maksudnya adalah penyerahan dengan pengenaan sewa.
Sewa-menyewa tanah menurut Suhrawardi K. Lubis dalam hukum perjanjian islam dapat dibenarkan  baik tanah. Untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya.(2012: 159). Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal perjanjian sewa-menyewa tanah yaitu sebagai berikut: untuk apakah tanah itu digunakan? Misalnya digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh terhadap jangka waktu sawa-menyewa. Dengan cara otomatis juga akan berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewanya.
Namun terdapat perbedaan pendapat tentang sewa-menyewa tanah yang dimanfaakan untuk pertanian. Perbedaan pendapat ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Yang membolehkan sewa tanah, pandangan ini juga dapat di pecah menjadi tiga, yakni pertama, sewa tanah lebih baik didasarkan atas sistem bagi hasil, bukan sistem sewa tetap. Kedua, sewa tanah lebih baik dilakukan dengan sewa tetap, sebab pada dasarnya tanah dapat dianalogikan (qiyas) seperti kekayaan lainnya. Ketiga, sewa tanah dapat dilakukan baik dengan sewa tetap ataupun sistem bagi hasil.
Yang tidak membolehkan sewa tanah, pandangan ini membawa implikasi bahwa penyerahan tanah untuk digarap pihak lain harus bersifat cuma-cuma, artinya tidak adannya sewa dalam bentuk apapun. Jika tidak mampu untuk mengolah sendiri tanah yang dimiliki, maka harus diserahkan kepada pihak lain (yang mampu untuk menggarapnya) dengan tanpa adanya perjanjian imbalan apapun, baik dengan imbalan bagi hasil ataupun sewa tetap.
Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewakan/ pemilik mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, , namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/ keras.
Dalam rangka mengoptimalkan pengolahan sumber daya alam/ tanah sebagai faktor produksi beberapa pemikir islam kontemporer brpendapat bahwa sesungguhnya sewa tanah dapat dilakukan dengan sewa tetap maupun dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem penyewaan tanah sedikitnya terdapat tiga nilai dasar yang perlu tercipta, yaitu keadilan, persaudaraan, dan kemurahan hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI