Mohon tunggu...
Khofifah Noviarianti
Khofifah Noviarianti Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - a logistician

Mahasiswa S1 Manajemen yang tertarik dengan hal-hal baru, get to know me better!

Selanjutnya

Tutup

Money

UU Cipta Kerja, ke Mana Kita Harus Menuju?

17 Oktober 2020   11:42 Diperbarui: 17 Oktober 2020   11:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sudah bukan wajah baru antara kepentingan pebisnis dengan politisi negeri ini, bukankah sistemnya selalu berjalan seperti itu? iya, pebisnis akan memberikan modal finansial jor-joran untuk para politisi negeri sedangkan sebagai imbalannya, ketika politisi ini berkuasa ia akan memberikan kemudahan akses bagi pebisnis dalam melancarkan usahanya.

Masih ramai pula diperbincangkan mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, polemik tersebut memicu dua kelompok. Pertama adalah kelompok liberal ekonomi yang ingin membuka pangsa pasarnya di Indonesia dengan melonggarkan regulasi dan menurunkan upah buruh sehingga investor akan berbondong-bondong menanamkan modalnya. Sebagai contoh kelompok ini adalah China, upah buruh yang tergolong murah merupakan keuntungan kompetitifnya. Hal inilah yang menarik perusahaan-perusahaan asing membuka pabrik-pabriknya dan menanamkan sebagian besar modalnya.

Kelompok kedua adalah kelompok nasionalis ekonomi yang menjunjung tinggi usaha-usaha dalam negeri terhadap investasi asing.
Mereka menginginkan usaha dalam negeri tetap terlindungi dari serangan produk impor yang jauh lebih murah dibanding hasil produk lokal. Pajak diturunkan demi mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan cukai terhadap produk impor dinaikkan. Hal inilah yang mendorong terbukanya lapangan kerja dalam negeri, tentunya model seperti inilah yang diinginkan oleh kelompok nasionalis ekonomi di Indonesia.

Pertanyaannya, ke mana kita harus menuju? UU Cipta Kerja secara gamblang memperkuat kekuasaan pebisnis nasional maupun asing dalam konteks upah. Namun, baik buruh maupun pebisnis nasional tidak setuju akan kebijakan UU ini. Coba teliti lagi baik Demokrat maupun PKS yang menentang kebijakan ini, siapa yang mereka perjuangkan? untuk kepentingan siapa? boleh jadi mereka ada pada kubu nasionalis ekonomi.
Kelompok nasionalis ekonomi tetaplah kapitalis, entah asalnya dari bumi pertiwi maupun asing, pada ujungnya mereka akan tergerogoti oleh ketamakan.

Pertentangan antara kelompok liberalis ekonomi dan nasionalis ekonomi sejatinya hanyalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan kaum buruh. Kepentingan-kepentingan politik pebisnis bisa jadi menunggangi kepentingan buruh, yang pada akhirnya janji-janji itu akan selalu berakhir janji.

Alih-alih bersitegang liberalis dan nasionalis, Pasar seharusnya dibuka seluas-luasnya dan deregulasi harus dilakukan agar tiap-tiap orang memiliki kesempatan yang sama atas usaha.

Lalu, Kebijakan perundangan nasional kita harus memperkuat otonomi serikat-serikat pekerja dalam menentukan upah. Hak-hak pekerja yang diperhitungkan seperti hak mogok, hak cuti, hak perlindungan dari PHK, dan hak dalam upah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun