Mohon tunggu...
Khofifah Albena Akbar
Khofifah Albena Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi S1 manajemen yang menyukai berkuda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Asuransi Jiwasraya dalam Persepsi Pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dan Kejahatan Struktural Anthony Giddens

3 Juni 2023   13:32 Diperbarui: 3 Juni 2023   14:09 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja ataupun tidak disengaja dan memiliki nilai destruktif seperti menyebabkan penderitaan bagi orang yang baik maupun yang berdosa. Dalam literatur filsafat, kejahatan dibagi menjadi dua tipe. Kejahatan moral dan kejahatan alamiah. Kejahatan moral merupakan sebuah tindakan kejahatan yang muncul dari individu atau beberapa pelaku secara sadar dan salah secara moral sehingga menyebabkan penderitaan bagi orang lain maupun kejahatan dengan membiarkan orang lain menjadi korban meskipun pelaku dapat menolongnya. Dan kejahatan alamiah berasal dari yang alami dan natural, misal cacat bawaan lahir, musibah alam, seperti banjir, gunung meletus, tsunami, dan lain-lain.
Kejahatan dalam teori strukturasi Giddens bahwa tindak kejahatan yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh struktur yang memampukan (enabling). Giddens melihat  struktur sebagai sebuah hasil dan medium praktik sosial. Umumnya individu dapat meninggalkan sebuah struktur dan tidak mesti tunduk pada struktur yang ada. Individu dapat keluar dari aturan struktur yang sudah ada dan situasi ini disebut sebagai dialectic of control, dimana individu dapat melawan struktur yang berupa kontrol. Jadi, semakin ketat aturan dari sebuah struktur, maka semakin besar kemungkinan intervensi dan sikap untuk menghindari aturan tersebut.
Situasi tersebut dapat memicu suatu tindak kejahatan karena individu berusaha untuk keluar dari aturan yang terdapat di struktur yang Ia tempati. Dalam teori strukturasi, Giddens membedakan tiga dimensi internal individu. Yang pertama adalah motivasi tak sadar, menyangkut pada sebuah kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri. Yang kedua, kesadaran praktis, sebuah anggapan bahwa pengetahuan tidak selau bisa diurai, contohnya rutinitas hidup personal. Dan ketiga, kesadaran diskursif yakni kapasitas individu dalam dalam menjelaskan tiap tindakan yang kita lakukan secara rinci dan eksplisit. Kejahatan dapat terjadi karena adanya motivasi tak sadar, sebuah pelaku kejahatan mungkin tengah menginginkan dan membutuhkan sesuatu, sehingga pada akhirnya melakukan sebuah tindakan-tindakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pelaku dan merugikan orang lain.
Kejahatan struktural merupakan suatu jenis kejahatan yang terjadi akibat adanya ketidakadilan struktural, adanya timpang kekuasaan, faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kejahatan jenis ini tidak hanya meliabatkan tindakan individu melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Kejahatan struktural merupakan bentuk dari kejahatan moral karena fokus pada individu sebagai pelaku utamanya. Kejahatan struktural dapat terjadi dalam lingkungan korporasi, ekonomi dan keuangan, lingkungan, sosial, dan institusional.

Kasus Asuransi Jiwasraya

Salah satu perseroan terbatas asuransi jiwa yang tertua di Indonesia, yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengalami kasus besar dugaan korupsi. Pada beberapa tahun yang lalu, PT Asuransi Jiwasraya disinyalir tidak dapat membayar klaim asuransi polis jatuh tempo nasabah. Meski kasus ini baru ramai dibahas pada tahun 2019, namun catatan permasalahan Jiwasraya telah terjadi dari sejak tahun 2000-an. Pada September 2019, tercatat bahwa PT Asuransi Jiwasraya telah mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perusahaan asuransi tersebut tercatat negatif hingga Rp. 23,92 triliun. Masalah lainnya adalah Jiwasraya membutuhkan uang sejumlah Rp. 32,89 triliun untuk memulihkan kondisi perusahaan.
Kronologi kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dimulai dari tahun 2004, dilaporkan perusahaan memiliki cadangan yang lebih kecil dari pada yang seharusnya. Keadaan tidak dapat membayar PT ini dikabarkan mencapai Rp. 2,769 triliun. Dilanjut pada tahun 2006, laporan keuangan menurun hingga negatif bahkan mencapai Rp. 3,29 triliun. Laporan keuangan ini disampaikan oleh Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Berlanjut pada tahun 2008-2009, laporan keuangan semakin melebar bahkan mencapai angka Rp 6,3 triliun pada tahun 2009. Menanggapi defisit ini, Kementerian BUMN berusaha memberikan langkah-langkah penyelamatan jangka pendek (re-assurance). Kementerian BUMN menyampaikan kepada direksi Jiwasraya bahwa akan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan dan berusaha agar masalah Jiwasraya cepat selesai.
Tahun selanjutnya setelah melakukan langkah reasuransi, akhirnya pada tahun 2011 ada laporan surplus hingga Rp. 1,3 triliun. Langkah reasuransi ini dapat menyelesaikan semua masalah secara sementara. Laporan surplus ini masih berlanjut hingga tahun 2012. Dan pada tahun 2012 Jiwasraya juga menawarkan produk JS Proteksi Plan, yaitu produk bancassurance dengan beberapa bank terkait.
Kronologis berlanjut pada tahun 2013-2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian meminta Kementerian BUMN untuk memberikan langkah alternatif penyehatan keuangan JS, hal ini dikarenakan Jiwasraya memiliki permasalahan rasio pencapaian solvabilitas kurang dari 120%. Namun meskipun begitu pada tahun 2017 akhirnya ada laporan positif karena pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai angka Rp. 21 triliun.
Kemudian pada tahun 2018, Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim dan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo dicopot dari jabatannya. Mencium kebobrokan direksi lama, nasabah kemudian mulai mencairkan JS Saving Plan. Pemegang saham atau stakeholder kemudian menunjuk Asmawi Syam sebagai Dirut Jiwasraya.
Dibawah kepemimpinan Asmawi, direksi melaporkan kejanggalan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN, dan kejanggalan pada laporan ini kemudian dibenarkan oleh audit Kantor Akuntan Publik (KAP) dan PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan 2017.
Selama tahun 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya ini mulai tercium oleh publik. Kemudian terbongkar pula adanya ketidakseimbangan antara aset dan kewajiban perusahaan. Ekuitas Jiwasraya kemudian tercatat negatif hingga sebesar Rp. 27,24 triliun.
Akhirnya pada tahun 2019, Kementerian BUMN yang pada saat itu berada di bawah kepemimpinan Erick Thohir mengaku adanya laporan indikasi kecurangan di Jiwasraya, kemudian Erick Thohir membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung. Adanya laporan keuangan yang tidak transparan dan dugaan bahwa investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan, hal ini membuat status penyelidikan pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjadi kasus dugaan korupsi.
Penyidikan yang dilakukan Kejagung membawa 10 nama yang diduga bertanggung jawab atas kasus Jiwasraya. Kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengesahkan pernyataan resmi tentang kasus korupsi Jiwasraya ini. Salah satunya adalah Jiwasraya diduga melakukan rekayasa akuntansi (window dressing). Hasil dari pemeriksaan BPK akan menjadi dasar untuk Kejagung dalam mengambil putusan terhadap nama-nama yang bertanggung jawab atas kondisi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Kasus Jiwasraya Dalam Persepsi Pemikiran Panopticon

Dalam penerapan pemikiran dan teori Jeremy Bentham, panopticon, anggap saja bahwa PT Asuransi Jiwasraya beserta nama-nama yang diduga bertanggung jawab atas kasus korupsi bagaikan narapidana-narapidana yang berada dalam sebuah bangunan penjara. Bangunan penjara kita asumsikan sebagai negara yang tengah kita tempati. Dan masyarakat, beserta pemerintah merupakan bagian pengawas di pusat bangunan tersebut.
Di masa yang serba digital ini, mudah bagi masyarakat untuk ikut campur kepada kasus korupsi yang merugikan khalayak banyak. Belakangan ini juga tidak sedikit yang berani membongkar kelakuan pejabat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, dan harta yang seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan sendiri. Maka dari itu, masyarakat adalah pengawas dan pengamat yang patut diwaspadai oleh pelaku-pelaku kejahatan korupsi Jiwasraya. Era digital yang makin mempermudah masyarakat untuk menggiring dan ikut mengawasi kasus ini membuat masyarakat menjadi pengawas utama yang seharusnya.
Mungkin para pelaku dan nama-nama yang telah diduga bertanggung jawab atas kasus yang menimpa Jiwasraya bisa bersembunyi dan tidak mengatakan apapun. Namun ketika merasa diawasi, tentu ada dampak psikologis tertentu, misal tertekan dan ketakutan. Mereka takut bahwa tindak laku kejahatan mereka benar-benar terbongkar. Mungkin pelaku akan menghalalkan segala cara untuk menutupi tindak kejahatan mereka, namun dalam pemikiran panopticon, ada sebuah aturan dan kode etik yang tidak bisa dilanggar oleh individu. Sehingga mau tidak mau, mereka mematuhi aturan dan kode etik tersebut. aturuan dan kode etik disini adalah sebuah hukum yang berlaku di negara kita. Artinya UU, UUD 1945, dan Pancasila. Semua tindak laku kejahatan sudah ditulis dengan lengkap dan terdapat sanksi yang harus dilakukan ketika individu mencoba untuk melawan kode etik dan aturan tersebut.
Melalui pemikiran Panopticon ini, masyarakat mengharapkan adanya kesadaran dan efek jera yang signifikan terhadap pelaku-pelaku yang diduga menyelewengkan harta dan ekuitas ataupun membuat laporan keuangan palsu tiap tahunnya dari PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Karena ketika melakukan suatu tindak kejahatan, dampak yang dihasilkan dari tindakan tersebut sangat banyak. Contohnya Kementerian BUMN berlaki-kali harus melakukan pengawasan dan memberikan langkah-langkah reasuransi agar Jiwasraya pulih dan sehat kembali. Dari situasi ini, dapat dikatakan bahwa pemerintah seperti Kementerian BUMN merupakan pengawas yang memperhatikan gerak-gerik dan seluruh aktivitas Jiwasraya dari pusat. Pemerintah atau Kementerian BUMN yang memiliki akses tidak terbatas terhadap berjalannya Jiwasraya dianggap sebagai pengawas narapidana yang berada di tengah-tengah antara sel-sel yang melingkarinya. Pemerintah dapat dengan mudahnya mengawasi lembaga asuransi tersebut tanpa harus lembaga asuransi tersebut tau bahwa mereka sebenarnya tengah diamati.
Pengaplikasian pemikiran ini penting bagi kedua belah pihak karena jika pemikiran panopticon ini dilakukan dengan aturan yang transparan, adil, dan efektif maka akan tercipta suatu pengawasan yang dapat berjalan dengan baik. Namun dalam menerapkan pemikiran panopticon tentu harus lebih kritis dan waspada dalam kemungkinan terjadinya praktik yang bisa melanggar hak individu. Jangan sampai ada penyalahgunaan kekuasaan yang ke-sekian.

Kejahatan Korupsi

Istilah "kejahatan korupsi" mengacu pada suatu bentuk penilaian bahwa korupsi merupakan bagian dari kejahatan dan merupakan perbuatan yang merugikan khalayak banyak. Korupsi merupakan suatu tipe kejahatan yang memiliki sifat laten dan sangat merugikan dan membahayakan negara, merupakan suatu tindak pidana yang identik dengan ancaman terhadap rule of law, keadilan dan kemanusiaan (Thoyyibah, 2015).
Korupsi pada dasarnya diartikan sebagai bentuk penyuapan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai suatu perbuatan buruk berupa penggelapan uang, penerimaan uang, sogok, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, korupsi biasanya selalu mengacu pada tindak laku politikal yang jahat dan merusak keutuhan. Korupsi jika dideskripsikan dengan umum merupakan suatu tingkah laku menyimpang dari tanggung jawab resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi perorangan, keluarga, atau kelompok sendiri, atau melanggar aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Ketika membahas masalah kejahatan korupsi, sebenarnya sudah tidak relevan lagi jika menganggap bahwa korupsi hanya sekedar kejahatan moral, tetapi juga sebagai kejahatan multidimensional yang mencakup aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika korupsi terjadi maka dampak yang diberikan akan sangat besar adanya. Terutama jika dilakukan dalam skala yang besar dan dilakukan oleh segerombol institusi yang berkaitan langsung dengan negara. Citra negara dan pemerintahan ketika kejahatan korupsi terjadi bisa menjadi sangat buruk. Keburukan dan kerugian yang akan terjadi bukan hanya masalah angka tetapi juga nilai-nilai yang mengalami kerusakan.
Perbuatan korupsi merupakan suatu tindak laku yang menempatkan kepentingan publik dibawah tujuan pribadi yang melangga norma tugas dan kesejahteraan, diiringi dengan tingkah laku serba rahasia, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas tiap konsekuensi yang akan diterima oleh publik. Biasanya korupsi memang melibatkan lebih dari satu orang, minimal dua orang atau lebih. Berbeda dengan pencurian, korupsi biasanya memang direncanakan dalam skala yang luas dan cakupan yang lebar. Ketika melakukan tindak laku korupsi, pasti selalu ada unsur rahasia, terkecuali dalam lingkungan tersebut memang orang yang berkuasa atas kasus korupsi itu sendiri. Biasanya timbal balik yang didapatkan oleh pelaku korupsi tidak hanya berupa uang, tetapi juga termasuk kekuasaan yang menguntungkan pribadi satu sama lain. Dan biasanya pelaku dari korupsi adalah orang-orang yang menciptakan suatu keputusan tegas dan yang dapat mempengaruhi keputusan tegas itu sendiri. Maka dari itu, kita jarang sekali mendengar kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang kecil, pasti umumnya dilakukan oleh orang yang memang sedari awal sudah memiliki kewenangan besar dan kekuasaan yang tinggi sehingga mereka dengan mudahnya melakukan tindak laku korupsi (Alatas, 1981).

Kejahatan Korupsi Kasus Jiwasraya Dalam Persepsi Teori Strukturasi Anthony Giddens

Dibuat sendiri
Dibuat sendiri
Sejatinya manusia adalah makhluk individualis dan materialistis. Manusia memang membutuhkan suatu hal demi kepentingannya sendiri, selalu memiliki hasrat abadi yang tidak kunjung padam untuk meraih suatu kekuasaan. Dan ketidakadilan dalam kehidupan selalu tercipta ketika manusia memanfaatkan hakikat dan hasrat tersebut dalam suatu tindak kejahatan yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan.
Korupsi juga merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan yang merusak kebutuhan dasar sesama manusia dan merusak norma esensial manusia dalma konteks universal. Secara stuktural, korupsi merupakan tindakan kejahatan karena menciptakan penderitaan bagi orang lain, merugikan manusia dan lingkungan tempat manusia hidup.
Giddens menjelaskan bahwa manusia hidup dalam masyarakat sosial berperan sebagai human agent. Tiap tindakan manusia yang disadari atau tidak, disengaja atau tidak, pada dasarnya akan selalu berpengaruh pada peristiwa atau keadaan sekecil apapun yang berada disekelillingnya. Sebagai seorang agen, manusia harus menyadari bahwa Ia memiliki daya intervensi dengan keadaan pemicu atas suatu peristiwa. Seorang agen hidup dalam sebuah struktur dan dapat menciptakan struktur itu kembali dalam ragam kejadian dan peristiwa. Maka dari itu, seorang agen juga mampu melakukan tindak kejahatan struktural dalam dunia sosialnya secara dialektik, salah satunya kejahatan yang berdimensi struktural melalui kemampuan refleksivitas dan rasionalisasi tindakan (Giddens, 1984).
Korupsi sebagai bagian dari kejahatan stuktural, merupakan akar dari kemiskinan dan kekacauan sosial. Sebagai bentuk dari kejahatan luar biasa dan multidimensional, korupsi tidak hanya melibatkan masalah harta, tetapi juga menyangkut pada kekuasaan dan otoritas, serta mampu mengacaukan nilai dan moral dari lingkungan sekitarnya. Adanya pengabaian tanggung jawab dan otoritas dalam mencuri harta publik tanpa melibatkan orang lain dari luar lingkar kekuasaan dan otoritas itu sendiri.
Pada konsep strukturalnya, korupsi berjalan di atas ego kognitif yang merupakan potensi dasar manusia sebagai mikro kosmos. Sebagai human agent, manusia senantiasa merasionalisasi kehidupannya untuk menjadi lebih masuk akal. Meskipun manusia bagian dari stuktur mikro alam semesta, Ia memiliki dimensi sosial yang sifat perkembangannya berbeda dengan stuktur alam. Potensi alam memiliki sifat determinan, teleologis, dan risiko yang dihasilkan lebih jelas dan dapat diukur. Sementara potensi manusia sebagai pelaku kerusakan memiliki sifat dialektik dan relatif menghasilkan risiko yang tidak pasti, dinamis, serta terbuka atas berbagai kemungkinan (Giddens, The Consequences of Modernity, 1990).
Ketika membahas korupsi, Giddens sempat menyebutkan tiga gagasan besar struktur yang dijadikan prinsip aturan dan sumberdaya oleh para pelaku tindak kejahatan. Yang pertama adalah struktur penandaan (signifikansi) yang menyangkut skema publik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Yang kedua adalah struktur penguasaan (dominasi) atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Terakhir, struktur pembenaran (legitimasi) yang menyangkut skema peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum atau tata moral. Pelaku memiliki kesadaran dalam melakukan kejahatan dalam kapasitas refleksif seorang human agent yang ditentukan oleh barisan stimuli yang ada di sekelilingnya. Dan dalam melakukan tindak laku kejahatan tidak terlepas dari adanya struktur yang berupa aturan dan sumberdaya tersebut yang menjadi prinsip dari praktik-praktik kejahatan.
Korupsi sebagai kejahatan struktural tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tindakan moral yang merupakan bentuk refleksif agen-agen sosial. Bentuk refleksivitas ini bergantung pada jangkauan pengetahuan manusia yang hanya mungkin terwujud apabila ada kesinambungan praktik-praktik yang sama di sepanjang ruang dan waktu. Refleksivitas dipahami sebagai kesadaran diri yang memiliki sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung dan senantiasa dimonitor. Sebagai kejahatan struktural, korupsi berperan dalam hubungan timbal balik antara struktur dan individu. Struktur korupsi tidak berdiri otonom sebab struktur bukanlah aturan atau sumber daya yang bersifat mengekang individual. Justru individu tersebut dapat menjadi potensi memberdayakan struktur tergantung dengan modalitas yang individu itu miliki. Struktur tidak bisa terbentuk dalam jangka waktu yang sebentar, tetapi melewati satuan waktu dengan tidak membatasi pada ruang tertentu.
Korupsi sebagai suatu kejahatan struktural berakar pada sikap pembiasaan yang dilakukan oleh pelaku yang memproduksi dan mereproduksi struktur-struktur korupsi. Merupakan suatu problem kejatan manusia modern dimana strukturnya tercipta dari nilai modernitas, seperti kebebasan, sekularisme, individualisme, liberalisme, pragmatisme, yang menandai tempat bagi relasi sosial masyarakat. Menurut Giddens, manusia hidup dalam suatu realitas kosmos modern akhir yang berjalan diatas logika percepatan sehingga mengakibatkan orang tidak dapat berfikir panjang dalam mengambil jalan pintas, lebih memilih untuk berfikir dan bertindak praktis.
Kasus korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya merupakan suatu wabah epidemik dan endemik dalam masyarakat Indonesia karena pelaku melakukan tindak kejahatan dengan kesadaran praktis dan kognitif akibat tindakan-tindakan yang rekursif atau berulang dan berpola. Ditandai dari kronologis yang terjadi semenjak tahun 2000-an, pola yang dilakukan Jiwasraya selalu berulang-ulang dengan adanya laporan keuangan yang tidak sesuai dengan catatan pribadi perusahaan. Korupsi yang dilakukan menjadi suatu kewajaran dalam relasi kolektivitas, menjadi lingkaran setan yang terus bereproduksi menjadi korupsi dalam skala besar.
Makna struktural kejahatan korupsi dalam konteks dunia global ialah bahwa korupsi memiliki sifat-sifat struktural kejahatan yang memiliki rentang ruang-waktu terluas dan dimensi-dimensi struktur (budaya, ekonomi, politik, hukum) yang saling kai mengkait. Tindakan kejahatan tersebut tidak terlepas dari jaringan tindakan produksi dan reproduksi struktur oleh agen, yang hadir dalam konteks kehadiran maupun ketidakhadiran, yang membentuk setting atas apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan satu sama lain dalam seluruh totalitas gejala. Dalam kasus asuransi Jiwasraya, hal ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama yang dilakukan antara tiap pelaku, termasuk dengan pemalsuan laporan keuangan. Meskipun sempat berganti direksi, tetapi ternyaa budaya korupsi masih terjadi. Menunjukkan bahwa tindakan kejahatan ini terus direproduksi, struktur tersebut sudah tercipta dalam sebuah lingkungan perusahaan. Sehingga meskipun individu atau pelaku utama pencipta struktur korupsi tersebut sudah tidak ada, pelaku-pelaku lain yang sudah melakukan tindak laku akan terus mengajak individu lain untuk ikut terlibat ke dalam tindak laku kejahatan korupsi.

Menghindari Tindakan Korupsi Melalui Penerapan Panopticon dan Menurut Anthony Giddens

Ketika menerapkan konsep pemikiran panopticon dalam periode modern kini membutuhkan suatu pendekatan dan metode yang tepat. Karena masa kini, hampir seluruh masyarakat sadar dan mengutamakan privasi, kebebasan individu, dan kesejahteraan mental. Sebenarnya penerapan pemikiran panopticon dalam menghindari tindakan korupsi adalah salah satu hal yang tepat. Namun membutuhkan metode yang pas agar tidak menyinggung dan melanggar hak individu. Penerapan yang tepat dan seimbang dari konsep ini dapat membantu kita menciptakan sebuah sistem pengawasan yang menghormati hak-hak individu dan mendorong keamanan yang efektif dalam masyarakat modern.
Dengan memanfaatkan sistem digital ini, penerapan pemikiran panopticon seharusnya lebih mudah untuk dilakukan. Misalnya untuk pengawasan dan keamanan kita dapat memanfaatkan CCTV atau alat pelacakan digital. Media sosial juga dapat dimanfaatkan dalam mengawasi secara digital. Meskipun tidak ada pengawasan langsung, persepsi pengawasan konstan menciptakan efek pengendalian.
Untuk kasus tindakan korupsi, pemerintah dapat memanfaatkan sistem digital untuk mengawasi pelaku-pelaku yang diduga melakukan korupsi. Namun pencegahan yang dapat dilakukan juga bisa diterapkan dengan cara tiap perusahaan yang terdaftar namanya di pemerintah diharuskan menggunakan sistem yang dapat dideteksi pergerakannya dan dilacak seluruh kegiatannya baik online ataupun offline oleh pemerintah atau pihak berwenang yang terkait. Sehingga hal ini dapat diminimalisir secara perlahan. Pelaporan harta benda juga harus dicek berkala. Sama seperti panopticon pada penjara, pasti selalu ada pengecekan berkala ke dalam sel-sel dan segala kondisi fisik narapidana.
Sistem pengawasan yang konstan dan terstruktur dapat memberikan efek psikologi terhadap individu agar menjadi patuh dan memperhatikan aturan serta kode etik yang berlaku. Efek psikologi ini juga dapat membuat mereka yang diawasi menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga perilaku atau tindak kejahatan dapat berkurang dan dihindari.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan pemikiran panopticon diantaranya adalah harus ada peraturan hukum yang kuat dan tegas untuk mengatur penggunaan teknologi pengawasan dan pemantauan. Harus diatur hak dan kewajiban yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya. Selain itu, penggunaan teknologi juga harus menjalani kode etik yang telah diatur. Mekanisme pengawasan harus transparan dan akuntabel atau bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya bahwa perusahaan terkait ataupun masyarakat harus menjalani sistem yang transparan dan akuntabel. Tanggung jawab dan kesadaran individu juga harus ada, diantaranya adalah tentang etika dan literasi digital yang sudah digemborkan oleh pemerintah kini. Kemudian, adanya kerjasama yang baik antar pihak juga membantu keefektifan penerapan panopticon. Kebijakan atau aturan yang seimbang juga harus diperhatikan agar tiap pihak responsif.
Sementara menurut Anthony Giddens memang tidak menyebutkan cara menghindari korupsi secara spesifik. Namun pemikiran-pemikiran Giddens dapat kita terapkan untuk menghindari tindak laku kejahatan korupsi selaku kejahatan struktural.
Pemikiran Giddens yang memang sering mengkritik sistem dan tatanan masyarakat maupun pemerintah, sering membicarakan tentang reformasi. Maka dari itu, untuk menghindari dan menanggulangi korupsi, reformasi sangat dibutuhkan. Reformasi ini harus dilakukan dalam segala aspek, mulai dari sistem pemerintahannya, aturannya, hukumnya, dan lain-lain. Reformasi yang dilakukan harus ke arah yang lebih baik dan mengutamakan asas yang transparan, akuntabel, dan memiliki integritas tinggi.

Freepik
Freepik

Dalam pemikirannya, Giddens seringkali menyorot betapa aspek transparansi dan akuntabilitas. Aspek transparansi dan akuntabilitas memang sangat penting, terutama untuk menghindari tindak laku kejahatan korupsi. Ketika sebuah sistem dijalani dengan setransparan mungkin, maka pelaku tindak korupsi akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakannya. Dengan menyediakan akses informasi yang luas, mempublikasikan data keuangan publik, dan juga memastikan bahwa tindakan pemerintah dan lembaga publik dapat dipertanggungjawabkan adalah hal-hal yang harus dilakukan untuk menghindari kejahatan korupsi.
Giddens sempat menyebutkan bahwa manusia memiliki peran sebagai human agent. Sebagai agen, manusia memiliki pengaruh yang besar dalam suatu sistem tatanan masyarakat atau dalam struktur. Giddens memiliki pendapat bahwa partisipasi manusia atau agen sangat penting dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap kekuasaan. Manusia, agen, atau masyarakat harus dilibatkan dalam pemantauan dan pengawasan terhadap insitusi yang memiliki kewenangan tinggi maupun pemerintah. Masyarakat sebagai agen harus berpartisipasi dalam pengawasan, misalnya dengan mengadakan forum publik, atau lainnya.
Untuk menerapkan itu semua, penguatan hukum dan penegakan hukum juga harus diperhatikan. Harus ada hukum yang jelas untuk mengatur berbagai tindak korupsi, baik itu pelaku, saksi, atau orang yang membantu pelaku dalam melakukan korupsi meskipun dalam keadaan terpaksa. Semua itu harus diatur dalam hukum yang jelas sehingga dapat memberikan efek psikologis patuh terhadap hukum. Pelaku korupsi juga harus diberikan sanksi yang berat karena telah merugikan tatanan masyarakat dalam skala yang besar dan multidimensional.
Hal terakhir yang dapat dilakukan dan diperhatikan adalah mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Korupsi merupakan akar dari kemiskinan. Terkadang, faktor ekonomi dan sosial menjadi pendorong pelaku korupsi dalam melakukan tindak kejahatannya. Melalui kebijakan yang mendukung kesetaraan sosial dan ekonomi masyarakat maka akan mengurangi kebutuhan akan praktik korupsi. Karena masyarakat sudah merasakan manfaat yang lebih merata daripada sebelumnya.
Pencegahan korupsi terutama dalam skala besar seperti negara ini memang membutuhkan upaya yang besar dan tidak mudah. Tantangan-tantangan tersebut di Indonesia masih sangat berat karena tindak laku korupsi sudah memiliki struktur tersendiri dan struktur terus direproduksi sehingga sulit untuk memutuskan rantai korupsi itu sendiri. Tidak meratanya pendidikan, sosial, dan ekonomi di Indonesia juga menjadi faktor utama adanya tindak laku korupsi yang masih terjadi. Namun utamanya, kemampuan dan privilege seseorang yang membuat tindak laku korupsi masih terjadi. Haus akan kekuasaan menjadi faktor lain tindak laku korupsi.
Langkah besar yang harus dilakukan dan sangat efektif untuk keadaan krisis di Indonesia ini adalah melakukan reformasi. Bahasan tentang reformasi memang sudah ada sejak dahulu, setelah Presiden RI yang kedua lengser dari jabatannya. Namun belakangan ini juga beredar istilah "Reformasi di korupsi" yang menandakan bahwa gerakan reformasi yang diusung sejak lama tidak berhasil, dalam kata lain di korupsi. Maka dari itu Indonesia membutuhkan reformasi secara menyeluruh. Mulai dari sistem pemerintahannya, praktiknya, prosedur, hukum, berbagai institusi yang berkaitan dengan pemerintah, dan juga regulasinya. Dengan ini, perlahan-lahan tindak laku korupsi akan semakin berkurang. Meskipun nantinya masih ada beberapa oknum yang melakukan tindakan korupsi, tetapi dengan hukum dan regulasi yang tegas dan kuat tentu akan memberikan efek jera kepada oknum-oknum tersebut. Kesadaran masyarakat juga akan semakin meningkat tentang pentingnya integritas dan etika sehingga, masyarakat yang melek akan betapa buruk dan jahatnya tindak laku korupsi akan mengurangi dan menghindari tindak laku korupsi itu sendiri. Sehingga akan tercipta sikap anti korupsi.

Referensi

Alatas, S. H. (1981). Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Ashaf, A. F. (2006). Pola Relasi Media, Negara, dan Masyarakat: Teori Strukturasi Anthony Giddens Sebagai Alternatif. Sosiohumaniora, 8(2), 205-218.
Bentham, J. (1995). The Panopticon Writings. London: Verso.
Eldija, F. D., & Mastutic, F. (2016). Panoptic Architecture. Media Matrasain, 13(1), 16-23.
Giddens, A. (1984). The Constitution of Society. Cambridge: Polity Press.
Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
Thoyyibah, I. (2015). Makna Kejahatan Struktural Korupsi Dalam Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens. Jurnal Filsafat, 25(1), 134-171.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun