Mohon tunggu...
khofifah agustiani
khofifah agustiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyoal Isu Childfree di Indonesia: Sebuah Pro dan Kontra

24 Mei 2022   09:48 Diperbarui: 10 Februari 2023   13:06 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi mengenai childfree yang akhir-akhir ini menjadi kontroversi dan diperdebatkan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. 

Childfree atau tidak memiliki anak merupakan pilihan untuk tidak memiliki anak (childfree). Lebih lanjut didefinisikan sebagai pilihan pasangan yang telah menikah untuk memutuskan tidak menginginkan anak sama sekali, baik biologis maupun adopsi.

Pada kenyataan sejarahnya, individu yang childfree telah diakui dalam literatur setidaknya sejak tahun 1970-an (Neal & Neal, 2021). 

Sementara isu childfree mulai dibicarakan masyarakat di Indonesia utamanya pada media sosial ketika salah satu pemengaruh atau influencer serta feminis Indonesia, Gita Savitri, mengungkapkan kepada masyarakat atas keputusannya dengan suaminya, Paul Andre Partohap, untuk memilih childfree. 

Kemudian figur publik lain seperti Cinta Laura dan Andrea Gunawan juga mengungkapkan opininya terkait hal ini. Masyarakat pun memicu berbagai respons perdebatan baik pro maupun kontra dengan narasi childfree ini.

Ada beberapa aspek yang dibincangkan dalam isu ini. Pertama, mengenai pertimbangan finansial dan karir. Pasangan yang memilih childfree didasarkan atas isu finansial dan karir. 

Individu yang memilih childfree memiliki persepsi yang terbentuk pada sudut pandang ini adalah kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan anak dan biaya hidupnya. Oleh karena biaya yang cukup mahal inilah yang kemudian dipertimbangkan oleh pasangan childfree.

Sementara untuk untuk isu karir, identifikasi dilakukan kepada non-orang tua (yang memilih childfree) biasanya akan lebih terkonsentrasi pada pekerjaan profesional dan manajerial, lebih berpendidikan tinggi, lebih cenderung tinggal di daerah perkotaan, dan menjunjung nilai liberal tentang peran gender dibandingkan pasangan dengan anak  (Blackstone & Stewart, 2012). 

Untuk perempuan childfree, pilihan untuk tidak menjadi orang tua sering dikaitkan dengan keinginan untuk mengembangkan karir yang berarti. 

Lebih lanjut, laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai yang tidak memiliki anak menyebutkan tingginya biaya membesarkan anak dan keinginan untuk fleksibilitas finansial sebagai hal yang penting dalam keputusan mereka.

Kemudian, pada aspek nilai dan ideologi yang dianut. Pasangan suami istri yang memilih childfree dikarenakan adanya pandangan liberal tentang bagaimana mereka menginginkan kebebasan atas kehidupan rumah tangga. Pasangan childfree secara signifikan lebih liberal daripada pasangan yang memiliki anak. 

Pandangan bahwa tidak memiliki anak adalah untuk memfasilitasi peran gender yang lebih egaliter atau pun karena alasan kepedulian terhadap lingkungan dan adanya kesadaran memilih untuk tidak memiliki anak adalah satu-satunya tindakan yang paling berdampak untuk bumi yang kelebihan populasi.

Sementara itu, konstruksi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim konservatif jelas bertentangan dengan nilai liberal. 

Memilih untuk bebas anak, sering dipandang sebagai pilihan yang menyimpang terhadap nilai-nilai dan ajaran agama, tidak feminin, dan melawan kodrat bagi perempuan serta pelanggaran terhadap konstruksi tradisional feminitas. 

Memiliki anak merupakan hukum yang wajib dan memiliki amalan ibadah. Perspektif dari individu-individu yang tidak setuju ini mengkonfrontasi perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak

Sering dilihat orang lain sebagai orang tidak beruntung dan cacat secara psikologis, egois, menyimpang, dalam gaya hidup childfree yang tidak wajar, tidak sehat dan feminim, seperti nilai yang mereka anut. 

Sebagian yang berargumentasi menolak childfree dikarenakan tidak sesuai dengan stigma sosial dan budaya patriarki yang masih lekat di Indonesia.

Bagaimanapun, narasi tentang childfree yang beberapa bulan belakangan diperbincangkan dan diperdebatkan masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. 

Konsepsi childfree ini memicu perdebatan masyarakat Indonesia khususnya pada aspek pertimbangan karir serta ideologi dan prinsip hidup yang berbeda-beda. 

Pada akhirnya, penulis merefleksikan bahwa keputusan untuk memilih childfree adalah hak setiap pasangan dalam ranah privat.

Referensi : 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun