Berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Dalam sistem ini, memungkinkan pemilih mencoblos nama atau foto kandidat di surat suara ketika Pemilu. Biasanya, penetapan calon terpilih diseleksi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dalam kata lain, kuasa untuk memilih murni berada di tangan rakyat.
Sistem proporsional terbuka memberikan ruang lebih luas kepada para calon untuk menjual ide, visi, misi, dan gagasan untuk membeli suara rakyat, interaksi antara calon dan pemilih terbangun dengan baik. Selain itu, sistem ini sedikit banyak dapat terbebas dari belenggu hak otoriter partai sehingga partisipasi publik dapat meningkat.
Namun, karena keluasan yang diperoleh, tak sedikit para calon memanfaatkannya sebagai ladang politik uang (money politik) untuk mendapatkan suara. Momentum seperti saat-saat ini (tahun politik), misalnya, banyak dijumpai calon-calon terjun dalam kegiatan sosial, dan juga memanfaatkan wilayah fanatisme kiai. Seperti halnya yang terjadi di Situbondo, power of kiai yang dipandang memiliki banyak masa menjadi pusat kerumunan para calon untuk berebut suara, agar dengan dana yang lebih sedikit, dapat memperoleh suara banyak. Hal ini memang bernilai lebih kompetitif, namun rawan politik uang.
Melampaui Proporsional Terbuka dan Tertutup
Melampaui perspektif hitam-putih soal pilihan sistem pemilu. Selama ini ada persoalan yang jauh lebih krusial untuk dibahas, dibandingkan sekedar mempersoalkan sistem pemilu sembari membayangkan perubahan politik yang ada. Seakan-akan, persoalan ini dibiaskan oleh pembahasan setiap kelompok---pendukung proporsional terbuka dan tertutup---yang saling mengklaim sistem pemilu yang diusungnya sebagai paling demokratis. Begitupun sebaliknya, menyalahkan sistem pemilu lain sebagai tidak demokratis. Persoalan ini merupakan pentingnya politik representasi dalam membangun relasi politik antar negara dan warganya meskipun pemilu telah usai.
Kapasitas pembahasan menyoal desain sistem pemilu tak lekang dari politik representasi. Politik representasi harus punya akar yang kuat di level warga, selain juga prosedur kelembagaan yang memadai. Kombinasi keduanya menghasilkan perubahan sistem pemilu yang memperkuat posisi warga sebagai subyek yang mengartikulasi kepentingannya tidak sebatas pemilu, tetapi juga dalam praktik sehari-hari.
Berbagai studi mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan tidak selalu menjamin penyelesaian masalah-masalah warga negara secara tuntas. Meskipun perubahan tata aturan dan regulasi lembaga-lembaga formal yang memfasilitasi demokrasi juga bekerja sangat baik, perbaikan-perbaikan tersebut tidak berlangsung merata (khususnya di lembaga-lembaga representasi dan tata kelola pemerintahan) sehingga lembaga-lembaga demokrasi juga sering disalahgunakan (Hirariej dan Stokke, 2018:18-19).
Dalam desain prosedural mengharuskan perubahan sistem pemilu yang diterjemahkan secara konkret dalam hubungan antara elite dan partai dengan warga negara. Tujuannya agar akses warga negara untuk bernegosiasi dalam membangun hubungan harmoni dengan elite atau partai politik tetap terjalin meskipun pemilu telah usai. Maka, persoalan yang kita hadapi dalam politik representasi kita adalah kegagalan membangun relasi politik antar negara dan warganya.
Dalam telaah terhadap polemik kedua sistem (proporsional terbuka dan tertutup) tersebut, bisa diatasi melalui sistem proporsional tertutup yang menjanjikan penguatan ideologi partai. Atau oleh sistem proporsional terbuka yang membuka ruang partisipasi warga dan kompetisi antar-elite. Namun telepas dari dua solusi prosedural itu, seyogianya harus ada jaminan bahwa ideologisasi partai juga tidak hanya memperkuat elite politik yang memiliki akses terdekat ke pimpinan partai. Selain itu, jebakan kontestasi terbuka antara elite yang rentan menciptakan praktik klientelistik juga harus dihindari dengan memperkuat kontrol politik dari warga negara terhadap elite partai.
Persoalan-persoalan demikian tidak hanya berhenti pada pembahasan mengenai perubahan institusi, tetapi juga perlu diteruskan untuk menilik desain pemilu yang berakar pada kekuatan politik warga. Selama desain pemilu proporsional tertutup atau terbuka tidak memiliki akar politik yang kuat pada warga, selama itu pula kita akan terus menyederhanakan masalah-masalah politik representasi sebagai persoalan teknis.
Penulis: Ahmad Zainul Khofi