Mohon tunggu...
Ahmad Zainul Khofi
Ahmad Zainul Khofi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Pelajar

Living in an intentional continuous exploration of life | IG: @azkhofi_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merobotkan Manusia

15 Juni 2023   13:21 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:23 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi telah membawa manusia ke era baru yang penuh tantangan. Salah satu fenomena yang semakin mendominasi perhatian adalah adopsi robot dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan transformasi dramatis dalam penggunaan robot, mulai dari robot industri hingga robot asisten pribadi yang cerdas. Iya, itu semua memang benar. Namun, yang saya sayangkan adalah ketika merasakan beberapa perlakuan manusia kepada manusia tak jauh bedanya seperti manusia kepada robot, misalnya dalam dunia kerja, para tuan yang tidak memiliki sentuhan manusia kepada bawahannya. Sehingga hal itu memunculkan pertanyaan mendasar dari pikiran saya: secara etis, apakah manusia juga layak diperlakukan seperti robot?

"Sejatinya Manusia adalah Memanusiakan Manusia," kalimat tersebut tidak salah, namun praktis-subjektifnya membuat kalimat yang secara an sich bisa diartikan suci itu terpolarisasi sehingga beberapa kata-nya berubah dan tentu juga mengubah esensi maknanya, menjadi "Merobotkan Manusia".

Etimologi 'Robot' dan 'Manusia'

Sebelum jauh menjelaskan tentang "Merobotkan Manusia". Saya memulai pembahasan ini dengan etimologi kata 'Merobotkan'— yang mana kata tersebut menjadi judul dari artikel ini.  Istilah robot pertama kali muncul pada tahun 1920, berasal dari kata 'robota' yang dalam bahasa Ceko (negeri Eropa Timur) berarti kerja paksa. Kata itu muncul dalam drama pentas Rossum's Universal Robots karya Karel Capek, seorang Ceko. Kemudian pada tahun 1950, Isaac Asimov mengemukakan dalam novelnya 'Robot', tiga aturan perobotan yaitu: sebuah robot tidak boleh mencederai manusia; harus mematuhi perintah yang diberikan manusia, kecuali bila itu melanggar aturan pertama; dan robot harus melindungi eksistensinya sendiri sebagai mesin yang harus mematuhi manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), robot berarti alat berupa orang-orangan dan sebagainya yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin; orang yang menurut saja perintah orang lain; orang yang bertindak tanpa pikiran dan perasaan. Sehingga dengan imbuhan me- dan -kan, kata 'merobotkan' memiliki definisi menjadikan berfungsi (bekerja dsb.) seperti robot. 

Sementara itu, kata 'Manusia' berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata 'manu' , dan bahasa Latin yakni 'mens'  yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Muhammad Al-Fayyadl dalam bukunya Filsafat Negasi menyebut manusia sebagai "Tubuh-Berjiwa". Dalam sosialitas-nya, "Tubuh-Berjiwa" saling ber-intensi satu sama lain, saling ber-empati, dan kemudian membentuk asosiasi — "berhimpun dan bekerjasama, berinteraksi dalam memproduksi formasi makna bersama".

Dalam kesimpulannya, robot dan manusia memiliki makna yang jauh berbeda. Robot dimaknai sebagai alat dari manusia sendiri, sedangkan manusia adalah zoon-politicon atau makhluk yang saling berinteraksi, membutuhkan, berhimpun, dan bekerjasama memproduksi formasi makna bersama. Lalu apakah manusia juga layak diperalatkan seperti robot oleh manusia itu sendiri? 

Merobotkan Manusia

Lintasan berpikir tentang 'Merobotkan Manusia' berangkat dari perlakuan atasan atau bos-bos dalam dunia kerja saya, mereka bagaikan tirani yang tidak memakai dimensi kemanusiaan, bisanya hanya memerintah tanpa melakukan berbagai pendekatan dan pemahaman terhadap manusia bawahan seperti saya. Alih-alih mengakui dirinya sebagai orang yang sudah dewasa, namun keterbukaan saja mereka tidak melakukannya. Padahal, keterbukaan adalah hal dasar yang harus dimiliki oleh manusia dewasa, dengan keterbukaan kita bisa survive dalam gonjang-ganjing kehidupan, keterbukaan membuat kita antifragile yang merupakan investasi melahirkan agilitas dalam diri. Mungkin saja pemaknaan saya yang salah, maksudnya dewasa dalam segi usia, bukan dewasa dalam karakter.

Kembali ke Robot dan Manusia. Dengan adanya robot, pekerjaan manusia sungguh akan tertolong menjadi lebih mudah. Terutama dalam dunia kerja. Sampai-sampai bahkan kita lupa diri untuk menempatkan robot pada porsi yang seperti apa. Bahkan kita menganggap diri kita ini juga sebagai robot 'Merobotkan Manusia'. Dengan menjadikan manusia sebagai robot, tentu sang tuan akan lebih dapat mendapatkan untung. Tidak memikirkan rasa pada diri kita, tinggal membacakan kontrak yang telah ada, dan tinggal buang jika seperti barang rongsokan kalau itu sudah tidak sesuai dengan apa yang telah kita programkan.

Sisi kemanusiaan menjadi sirna karena sang robot memang diprogram tanpa memiliki perasaan yang ada. Jadi mau menolakpun tidak akan pernah ada. Bekerja dengan objek hidup lebih banyak memerlukan program untuk mendapat solusinya daripada bekerja dengan objek yang mati. 'Beruntunglah engkau wahai para robot yang masih bisa merasakan sentuhan kebaikan dari sang tuan, daripada tuan yang menjadikan manusia seperti robot', karena itu bukan menjadi tanggungan sang tuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun