Mohon tunggu...
Dr Khoe
Dr Khoe Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pelita Harapan, Kepala pengembangan Matematika dan sains Springfield Jakarta

Dosen Universitas Pelita Harapan, Kepala pengembangan Matematika dan sains Springfield Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Kuhn, Popper, Polanyi dan Dooyeweerd

17 Oktober 2021   21:00 Diperbarui: 17 Oktober 2021   21:03 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Antara Kuhn, Popper, Polanyi, dan Dooyeweerd

(Dr. Khoe Yao Tung)

Tak dapat dihindari, dalam perjalananan waktunya bahwa fondasi kreasionisme (Allah menciptakan manusia dan segala isinya) selalu mendapat "serangan", Doktrin ini selalu dibenturkan dengan teori-teori sekuler terkait dengan fondasi dan paradigma pengetahuan. Sampai sekarang pun, pandangan dunia terhadap pengetahuan selalu dilandaskan akan pertempuran klasik antara akal budi dan realitas (Mind-body), fakta dan nilai (Fact-value), Pandangan objektivitas dan subjektivitas Pengetahuan (Subject- object) ataupun terkait teori dan praktik (Theory-praxis). Fondasi danparadigma pengetahuan pada akhirnya juga berhilir pada pertanyaan-pertanyaan filsafat terkait asal usul dari materi, waktu dan energi.

Semua ahli geologi modern tidak akan mengabaikan prinsip uniformitarianisme, ketika mereka menjelaskan asal usul teori evolusi, sebuah mazhab klasik "saat ini adalah kunci untuk masa lalu". 

Berangkat dari paradigma ini asumsi ribuan tahun lapisan tanah dibangun untuk mendukung evolusi dibangun. Padahal banyak bukti peristiwa alam di masa lalu yang telah membentuk pola lapisan permukaan bumi, termasuk bencana besar air bah Nuh.

 Namun, para ahli geologi tidak memperhitungkan banjir besar dalam Alkitab sebagai sesuatu hal yang benar, mereka telah mengadopsi label "neocatastrophists," (untuk membedakan diri dari catastrophists yang dianut kebanyakan orang Kristen) dan mereka belum beranjak meninggalkan paradigma dalam waktu sejarah geologi, yang berjalan tanpa bencana. Kita akan membahas tiga praasumsi besar dan paradigma pengethuan.

Paradigma Kuhn

Sebagian orang Kristen sudah akrab dengan pandangan Thomas Kuhn (1922-1996)tentang definisi paradigmanya (shift paradigm). Istilah ini nampaknya masih asing bagi sebagian orang awam, padahal pertempuran teori kreasiosme tepat berada dalam pusaran ini. Reputasi Thomas Kuhn muncul ke permukaan ilmuwan kelas wahid muncul ketika ia menerbitkan buku utamanya, The Structure of Scientific Revolution (1962). 

Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa Paradigma merupakan cara berpikir yang umum tentang pemahaman suatu subjek. Pemahaman dalam proses pembentukan paradigma berlangsung terus menerus sampai orang tersebut dapat menemukan batas dengan batasan mengapa paradigma ini masih saja dapat menjelaskan masalahnya. 

Apabila terdapat bila ketidakmampuan menjelaskan masalah yang dihadapi itu, kemungkinan orang tersebut akan meninggalkan paradigma yang dianutnya. Alasan ini akan mendorong paradigma menjadi sangat penting dan kritikal bila tidak akan menghasilkan pergeseran paradigma.

Para akademisi Kristen pendukung doktrin penciptaan berdasarkan Alkitab mendorong setiap paradigma sekuler ilmu pengetahuan modern kepada bukti penciptaan. 

Revolusi Kuhnian membenturkan ilmu pengetahuan modern pada bukti-bukti yang mengarah pada penciptaan berdasarkan alkitabiah. 

Krisis perolehan ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikan seringkali tidak muncul dari dalam disiplin itu sendiri. Ini yang menjadi titik tolak premis Kuhnian agar terjadi pergeseran paradigma. 

Dalam revolusi pengetahuan masa lalu, para ilmuwan mengakui sendiri bahwa mereka kesulitan dengan paradigma yang mereka bangun, kebimbangan dalam mengembangkan metode yang lebih tepat untk dikembangkan. 

Tapi dalam pertempuran evolusi dan kreasionisme, serangan itu datang dari luar disiplin ilmu. Konflik dan bentrokan pertempuran tersebut justru datang dari pandangan dunia tentang paradigma yang digunakan. Pola berpikirnya hanya mencoba untuk menumpuk bukti yang meyakinkan suatu teori dalam menunjukkan kekurangan teori lainnya. Inti dari masalah ini adalah menempatkan iman seorang ilmuwan imannya dan tidak bukti obyektif yang dikotribusikan, sehingga tidak pernah terjadi revolusi Kuhnian dari oposisi ini pandangan dunia.

Pertentangan langsung terjadi ketika menjelaskan asal usul teori evolusi, semua ahli geologi modern tidak akan mengabaikan prinsip uniformitarianisme, sebuah mazhab klasik "saat ini adalah kunci untuk masa lalu". Berangkat dari paradigma ini asumsi ribuan tahun lapisan tanah dibangun untuk mendukung evolusi dibangun. 

Padahal banyak bukti peristiwa alam di masa lalu yang telah membentuk pola lapisan permukaan bumi, termasuk bencana besar air bah Nuh. Namun, para ahli geologi tidak memperhitungkan banjir besar dalam Alkitab sebagai sesuatu hal yang benar, mereka telah mengadopsi label "neocatastrophists," (untuk membedakan diri dari catastrophists yang dianut kebanyakan orang Kristen) dan mereka belum beranjak meninggalkan paradigma dalam waktu sejarah geologi, yang berjalan tanpa bencana.

Falsifiabilitas Popper

Apakah suatu  ilmu pengetahuan bersifat rasional? Ada yang mengarahkan sepanjang metode yang digunakan benar maka bersifat rasional, tidak bergantung pada titik tolak dari paradigma yang digunakan. Namun Karl Popper (1902-1994) "tidak dapat menerima" kesimpulan Hume yang menyatakan tidak ada pembenaran logis untuk klaim pengetahuan ilmiah - bahwa mereka memandangnya sebagai "habits of mind". 

Karenanya Filsafat Hume mewakili kebangkrutan kewajaran abad kedelapan belas dan penting menemukan apakah ada jawaban pendapat Hume dalam filsafat yang sepenuhnya atau terutama empiris. Jika tidak, tidak ada perbedaan intelektual antara ketidakwajaran.

Lalu Popper tampil dengan prinsip dasar Falsifiabilitas yang menyatakan bahwa pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. 

Bila suatu pernyataan ilmiah dinyatakan benar maka akan mengandung konsekuensi suatu kejadian atau fenomena tertentu yang tidak mungkin. suatu standar evaluasi teori-teori yang diduga ilmiah, yang menyatakan bahwa suatu teori benar-benar ilmiah hanya jika pada prinsipnya dimungkinkan untuk membuktikan bahwa teori itu salah. Teori Falsifikasi Popper adalah cabang filsafat ilmu untuk membenarkan apakah hipotesis diterima atau ditolak.

Karl Popper mengusulkan kriteria falsifiabiliti untuk memvalidasi penilaian empiris terhadap prediksi empiris yang tidak konsisten. Menurutnya teori-teori ilmiah justru harus divalidasi secara bertahap melalui tidak adanya bukti (diskonfirmasi) dalam beberapa eksperimen yang dirancang dengan teliti. 

Menurut Popper, beberapa disiplin ilmu yang mengklaim validitas ilmiah bukanlah ilmu empiris, karena materi pelajarannya tidak dapat dipalsukan dengan cara ini.

Bagi Popper, teori yang diterima adalah teori yang harus bertahan di tengah usaha untuk membatalkan teori tersebut, daripada kita berusaha untuk terus mendukung hipotesis teoretis tersebut. 

Dalam filsafat ilmu ini ketika ada hipotesis bahwa "semua angsa berwarna putih", dapat dipalsukan dengan mengamati angsa hitam; jika dalam situasi ini ada angsa hitam maka hipotesis "semua angsa berwarna putih" ditolak[1] Popper menyatakan bahwa agar suatu proposisi dianggap sebagai teori yang diterima, maka proposisi itu harus dapat diuji dan terbukti salah.

Kategorisasi Pengetahuan Polanyi

Bagi Michael Polanyi (1891 -1976)dalam rasionalitas perlu membagi pengetahuan dalam bentuk tacit[2], eksplisit dan implisit. Ia menyatakan bahwa Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang tidak dapat diartikulasikan dengan bahasa lisan (1997). Michael Polanyi  adalah  ahli kimia yang kemudian terkenal dengan pernyataan filsafatnya berkaitan dengan pengetahuan, "We know more than we can tell."  

Ia menggunakan contoh bahwa kita dapat mengenali wajah seseorang tetapi sulit untuk mampu menggambarkan cara yang dilakukan. Pengetahuan mirip dengan turunan dari pengenalan pola.

Apa yang kita kenali adalah keseluruhan atau gestalt dekomposisi unsur-unsur pembentuknya sehingga dapat mengartikulasikan mereka namun kesulitan untuk menangkap esensinya. 

Kita dapat membaca reaksi di wajah pelanggan atau memasukkan teks dengan kecepatan tinggi pada pengolah kata memberikan contohi situasi dapat melakukan dengan baik tetapi tidak mampu mengartikulasikan apa yang kita ketahui atau bagaimana kita mempraktikkannya. Dalam kasus tersebut, knowing adalah suatu proses, titik kita akan segera kembali.

Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang dapat dengan mudah  diartikulasikan, dapat dinyatakan dalam bentuk teks, tabel, diagram, spesifikasi produk, dan sebagainya. Pengetahuan eksplisit dengan telah kita kenal adalah rumus untuk mencari luas persegi panjang (yaitu, panjang kali lebar). 

Pernyataannya sering dikutip Harvard Business Review dengan artikel berjudul "The Knowledge Creating Company," Ikujiro Nonaka menyatakan pengetahuan eksplisit sebagai "formal dan sistematis" dan menawarkan spesifikasi produk, formula ilmiah dan program komputer. 

Pengetahuan eksplisit termasuk praktik lapangan yang didokumentasikan, standar formal klaim dengan asuransi diputuskan dan harapan nyata bagi kinerja yang ditetapkan dalam tujuan kerja yang tertulis.

Ia menyatakan bahwa pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih dapat diartikulasikan namun masih belum terlalu jelas. Keberadaannya tersirat atau disimpulkan dari perilaku dengan pengamatan atau kinerja. 

Pengetahuan implisit sering menjadi objek penelitian bagi para peneliti untuk analis tugas, knowledge engineer atau orang lain yang terampil dalam mengidentifikasi jenis pengetahuan yang dapat diartikulasikan tapi belum. 

Setelah hasil pengetahuan implisit dapat dideklarasikan dalam mengidentifikasi kriteria yang digunakan untuk menentukan respon terhadap aplikasi tertentu, dengan demikian pengetahuan implisit menjadi pengetahuan eksplisit.

Deklaratif, prosedural dan strategis

Para ahli psikologi kognitif membedakan pengetahuan ke dalam dua kategori: deklaratif dan prosedural. Beberapa ahli menambahkan pengetahuan kategori ketiga yaitu pengetahuan strategis.

Pengetahuan deklaratif terdiri dari deskripsi fakta dan hal-hal atau metode dan prosedur, memiliki banyak kesamaan dengan pengetahuan eksplisit dalam pengetahuan deklaratif. Dalam sebagian besar tujuan praktis, pengetahuan deklaratif dan pengetahuan eksplisit dapat  dipertukarkan. 

Dengan kata lain pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan eksplisit yaitu adalah pengetahuan yang dapat dan telah diartikulasikan. Pengetahuan prosedural adalah bahwa pengetahuan yang dapat diwujudnyatakan dalam perbuatan dari sesuatu. 

Pengetahuan ini terkait dalam motorik atau keterampilan manual dalam keterampilan kognitif atau mental. pengetahuan prosedural adalah bahwa pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. 

Pengetahuan strategis adalah istilah yang merujuk yang disebut know-when dan know-why. pengetahuan strategis hanya dalam menjelaskan dan tidak melakukan. Walaupun  memahami apa yang hendak dilakukan, mereka dapat sebagai terpisah dari bahwa melakukan.

Dalam hal jenis pengetahuan yang bermakna Polanyi membaginya dalam dua jenis yaitu: Analytical Knowledge, pengetahuan yang bersifata matematis dan logis, bersifat nonempiris dan apriori deduktif. Berikutnya adalah Scientific Knowledge, penetahuan yang bersifat spsesifik pada pengetahuan alam yang bersifat empiris dan posteriori induktif. Baginya justru ketidakberadaan metafisikan dan segala lainnya tidak berada dalam kedua kategori ini.

 

Karl Popper 

Michael Polanyi

Thomas Kuhn

Buku ilmiah

The Logic of Scientific Discovery  (1934)

Personal Knowledge (1958)

The Tacit Dimension (1967)

The Structure of Scientific Revolutions (1962)

    

Prinsip utama

Prinsip falsifiabilitas, melihat "kekeliruan", prinsip kebalikan dalam memverifikasi keilmuan

Kebalikan dalam menjustifikasi pengetahuan dengan rasionalisme kritis

Kategorisasi pengetahuan

Tacit knowledge, pengetahuan yang  "tersembunyi" sulit diartikulasikan secara verbal.

Explicit knowledge, pengetahuan yang sudah dinyatakan dan dituliskan.

 

Paradigma, fondasi Tata bahasa dan konsep linguistik yang dapat mengatur dan mengubah tampilan sains yang dilakukan.

Kata kunci

Falsifiabilitas

Hypothetico-deductive method

Post Critical Philosophy and Tacit Knowledge.

-  Paradigm shift

  

Dooyeweerd

Pengetahuan dari sisi kekristenan secara "klasik" dinyatakan oleh Herman Dooyeweerd (1894-1977). Ia adalalah seorang Calvinis murid dari Abraham Kuyper dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Ia memasukkan ide Kosmonomik dengan menekankan kedaulatan dan transendensi Allah.  Alkitab menyatakan bahwa Allah itu transenden, maka Allah itu transenden, sebagai batasan antara pencipta dan ciptaan. 

Dooyeweerd membagi pengetahuan dalam lima belas aspek (suite of fifteen aspects) dari hirarki yang terendah terkait aspek aritmetika sampai hirarki yang tertinggi terkait tengan aspek iman. Enam hirarki dari aspek yang terendah masuk dalam elemen dasar yang dimiliki oleh benda-benda, tumbuhan dan hewan, sedangkan sembilan elemen berikutnya masuk dalam esensi yang hanya dimiliki manusia. Terkait dengan subject function dan object function batasan aspek yang ada pada benda yang digunakan oleh subject things dan selanjutnya object function. Gambaran Doyeweerd dalam hubungan pengetahuan dalam lima belas aspek diuraikan dalam kaitan pencipta dan ciptaan dengan sangat jelas.

"Hukum adalah garis batas yang memisahkan Tuhan dari kosmos. Tuhan di atas hukum; segala sesuatu yang lain tunduk pada hukum. Dengan demikian, gagasan hukum tidak dapat dipisahkan dari gagasan tentang sumber hukum dalam kehendak Tuhan yang berdaulat dan gagasan tentang subjek hukum. Hukum dan subjek adalah istilah yang korelatif"

Penutup

Lalu dengan apakah kita meletakan fondasi pengetahuan kita, apakah dasar dari fondasi yang kita letakkan dalam memahami pengetahuan Ketika mengacu pada sekularisasi, sekularisasi ilmu mepengaruhi iman kita dalam keberadaan hidup kita sebagai makluk ciptaan. Hal itu terjadi karena semakin banyak orang Kristen yang menikmati pendidikan ilmiah tidak memiliki gagasan yang jelas tentang hubungan antara pemikiran ilmiah dan agama. 

Klaim berulang kali dibuat bahwa pada dasarnya sains non-teologis harus sepenuhnya bebas dari kepercayaan pribadi, karena objektivitasnya akan terancam saat ia terikat pada praanggapan apa pun yang berasal dari iman. Ide ini telah diterima tanpa menimbang konsekuensinya dan tanpa bertanya apakah itu dibenarkan baik dari sudut pandang alkitabiah atau kritis, dari sudut pandang ilmiah." 

Dooyeweerd dalam A New Critique of Theoritical Thought (1969) menggambarkan adanya filsafat Kristen yang harus dikembangkannya karena menurutnya setiap filsafat mempunyai ide dasar transenden yang memberi arah pada teori yang dikembangkannya. Ada ground motive yang transenden yang dikembangkan dalam setiap teori yang dibangunnya. Apakah ground motive kita ketika kita memamahi pengetahuan apakah untuk menjadi berkat dalam mememahami rencana Tuhan dalam kehidupan kita, atau justru sebaliknya menentang keberadaan-Nya melalui ground motive sekuler, bagaimanakah kita?

Referensi

H. Dooyeweerd, A New Critique of Theoretical Thought. Deel 1. The Necessary Presuppositions of Philosophy (vert. William S. Young en David H. Freeman). The Presbyterian and Reformed Publishing Company, z.p. 1969

Polanyi, M., "Tacit Knowledge," Chapter 7 in Knowledge in Organizations, Laurence Prusak, Editor. Butterworth-Heinemann: Boston, 1997.

Coleman S.R. and Rebecca Salamon, Kuhn's "Structure of Scientific Revolutions" in the Psychological Journal Literature, 1969-1983: A Descriptive Study, The Journal of Mind and Behavior Vol. 9, No. 4 (Autumn 1988), pp. 415-445 (31 pages)Published By: Institute of Mind and Behavior, Inc.

Kuhn, Thomas S. (1976). Theory-change as structure-change: Comments on the sneed formalism. Erkenntnis, 10(2), 179--199. https://doi.org/10.1007/BF00204969

Spruiell, V. (1983). Kuhn's "paradigm" and psychoanalysis. Psychoanalytic Quarterly, 52(3), 353--363. https://doi.org/10.1080/21674086.1983.11927036

Stanfield, R. (1974). Kuhnian Scientific Revolutions and the Keynesian Revolution. Journal of Economic Issues, 8(1), 97--109. https://doi.org/10.1080/00213624.1974.11503164

Suddhachit Mitra An Analysis of the Falsification Criterion of Karl Popper: A Critical Review, Tattva-Journal of Philosophy2020, Vol. 12, No. 1, 1-18  ISSN 0975-332X. https://doi.org/10.12726/tjp.23.1 1

Paul M. Churchland Karl Popper's Philosophy Of Science, Published online by Cambridge University Press:  01 January 2020, Canadian Journal of Philosophy , Volume 5 , Issue 1 , September 1975 , pp. 145 -- 156. https://doi.org/10.1080/00455091.1975.10716104

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun