Mohon tunggu...
Khoerul Latif
Khoerul Latif Mohon Tunggu... Bidan - Filsuf

Ubermensch

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berada Menuju Maut: Sebuah Refleksi Atas Kematian

12 Agustus 2023   22:59 Diperbarui: 13 Agustus 2023   01:56 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama menawarkan jaminan serta ketegasan akan hidup dan hal -- hal eskatologi tentang surga dan neraka misalnya, namun apakah jawaban-jawaban dari agama membuat hidup manusia menjadi lebih baik? Tentu hal tersebut perlu kita renungkan dengan lebih mendalam lagi. 

Belum tentu agama membuat kita lebih positif dalam memandang kehidupan, tentunya masih segar diingatan kita akan maraknya kasus terrorisme; dari Bom Bali hingga Bom Sarinah di jalan MH Thamrin sudah cukup merefer ingatan kita tentang bagaimana agama yang seharusnya merupakan tuntunan moral dengan asumsi cinta kasih terhadap sesama, menyayangi orang lain justru malah menjadi malapetaka bagi orang lain, seseorang begitu dengan mudahnya berjalan menuju kematian, menjadi pelaku bom bunuh diri. Atas dasar tuntutan kesalehan dapat dengan mudah menjadi pembunuh masal dan dengan keyakinan penuh akan janji-janji surga serta jaminan hari akhir. 

Kematian merupakan proses alami dalam mekanisme alam yang menandai akhir dari suatu organisme, sebenarnya merupakan hal yang lumrah karena manusia sendiri merupakan bagian dari alam. Namun kemampuan manusia dalam mengidentifikasi diri sebagai satu-satunya mahluk yang berkesadaran, mengembangkan bahasa serta berbudayalah, membuat manusia menjadi satu-satunya spesies yang unik dalam memberi definisi kematian. 

Manusia tidak bisa hidup dengan fakta saja  natural environment  manusia butuh sesuatu yang  sering disebut meaning atau Noopshere, dan tentu saja itu merupakan hasil dari olah imajinasi dari daya pikir manusia namun itulah yang seringkali lebih dominan dalam menentukan tindakan seseorang. 

Pengalaman personal masing-masing individu yang berbeda-beda menjadikan gambaran kematian sangatlah orisinil, autentis serta memiliki ke-khas'annya sendiri. Sebagian dari kita begitu mendambakan kematian entah karena sebab-sebab dari tuntunan keshalehan dalam praktek keber-agaman tertentu, depresi ditinggal orang -- orang yang kita sayangi, putus dari pacar ditinggal istri/suami dan mungkin untuk alasan-alasan filosofis tersendiri. 

Namun sebagian dari kita yang lain sangat ketakutan menghadapi kematian, ketakutan hilangnya eksistensi yang membawa kita pada kegalau-an akan ketidakpastian tentang apa yang terjadi pasca kematian. Kematian digambarkan sebagai terror suatu hal mencengkam yang menghantui kita kapan saja, dan dimana saja.

Pada abad pra-modern atau seringkali diistilahkan sebagai dark age dimana saat itu segala macam bentuk discoursues lekat dan bersandar pada otoritas keagaman terkhususnya dari doktrin-doktrin gereja khatolik membentuk stuktur masyarakat lebih komunal berbudaya atas dasar kesamaan spirtualitas kematian dianggap sebagai bentuk ritualitas penuh akan kebermaknaan sebagai simbol -- simbol sastra, serta dalam karya lukisan yang menngambarkan romantisme manusia dengan kematian, bahkan frasa latin paling terkenal saat itu adalah ''memento mori '' yang mengambarkan kemelekatan manusia akan kematian. 

Baru semenjak Rennesaince meletus di Florance, Italia tengah hingga beberapa abad setelahnya melahirkan cara pandang sciene serta kedokteran yang lebih mapan. 

Kematian dianggap sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan bahkan melebih pornografi, bayangan kematian terasa mengerikan sehingga manusia berlomba-lomba berusaha menaklukan kematian  atau setidaknya menunda agar kematian datang lebih lama, namun nampaknya usaha tersebut belumlah menemui hasil, sebagai mahluk hidup manusia pastilah mati, kematian klinis yang ditandai dengan melumpuhnya seluruh sistem saraf dan fungi tubuh pastilah terjadi 

Lantas haruskah kita takut akan kematian? dan bagaimana kita mempersiakan kematian dengan lebih matang?

Sadar atau tidak pada tataran yang dangkal, orang-orang dengan berbagai macam rutintas dan kesibukannya tidak bisa sepenuhnya abai dari terror akan kematian, dengan menumpuuk harta benda serta kekayaan ia memvalidasi bahwa bila kematian datang tidak masalah toh ia sudah memiliki legacy berupa keturunan, serta warisan untuk anak-anaknya kelak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun