Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rendah Hati

7 Januari 2025   00:24 Diperbarui: 7 Januari 2025   00:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OELH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah desa yang tenang, tinggallah seorang pemuda bernama Raka. Ia dikenal cerdas, pandai berbicara, dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Namun, sifat sombongnya membuat ia sering meremehkan orang lain. Suatu hari, seorang kakek tua yang bijaksana bernama Pak Wiryo datang ke desa itu. Ia adalah seorang ahli tembang macapat yang terkenal di seantero negeri.

Pak Wiryo sering duduk di bawah pohon beringin besar di tengah desa, menceritakan ajaran kehidupan melalui tembang macapat. Suatu hari, Raka yang penasaran mendekati Pak Wiryo. "Kek, tembang macapat itu apa gunanya untukku? Aku sudah tahu banyak hal tanpa perlu mendengarkan tembang kuno itu."

Pak Wiryo tersenyum lembut. "Nak Raka, tembang ini bukan sekadar rangkaian kata. Ada ajaran hidup yang dalam di dalamnya. Dengarkanlah satu tembang ini, dan pahamilah maknanya."

Pak Wiryo mulai menyanyikan tembang macapat Mijil:

Dedalane guna lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur wekasane,
Tumungkula yen dipun dukani,
Bapang den simpangi,
Ana catur mungkur.

Raka mendengarkan dengan alis mengernyit. "Itu berarti apa, Kek?" tanyanya dengan nada meremehkan.

Pak Wiryo menjelaskan, "Untuk menjadi pintar dan bijak, Nak, seseorang harus rendah hati. Berani mengalah tidak berarti kalah, melainkan menunjukkan kebesaran jiwa. Ketika dimarahi, meskipun tidak salah, tundukkanlah kepala. Hadapi rintangan dengan mencari jalan lain. Dan jika mendengar gunjingan, tetaplah melangkah tanpa menoleh."

Raka mendengus. "Rendah hati? Mengalah? Bukankah itu hanya untuk orang lemah?"

Pak Wiryo tersenyum lagi, tidak tersinggung. "Kalau begitu, aku punya tantangan untukmu. Aku akan mengajarkan makna sejati dari tembang ini melalui pengalaman. Temui aku besok pagi di tepi sungai."

Keesokan harinya, Raka menemui Pak Wiryo di tepi sungai. Sang kakek memberikan tugas sederhana. "Bawalah air sungai ini menggunakan wadah yang berlubang kecil di dasarnya."

Raka tertawa keras. "Mana mungkin bisa, Kek? Air akan selalu bocor keluar."

"Cobalah," kata Pak Wiryo dengan tenang.

Raka pun mencoba, tetapi seperti yang ia duga, air terus mengalir keluar. Setelah beberapa saat, ia menyerah. "Ini sia-sia! Mustahil untuk membawa air dengan wadah berlubang!"

Pak Wiryo tersenyum dan berkata, "Seperti itulah ilmu jika tanpa rendah hati. Ilmu yang kamu kumpulkan akan bocor, tidak berguna, dan tidak bertahan lama. Hanya dengan kerendahan hati, ilmu dapat tertahan di dalam diri."

Raka terdiam, wajahnya memerah. Ia menyadari kesombongannya telah membuatnya sulit menerima pelajaran hidup.

Hari-hari berlalu, dan Raka mulai mendalami ajaran dari tembang macapat yang diajarkan Pak Wiryo. Ia berusaha untuk bersikap rendah hati, berani mengalah, dan tidak lagi mudah terprovokasi. Suatu hari, saat ia membantu seorang tetua desa yang sedang dimarahi orang lain, Raka hanya diam menunduk, seperti yang diajarkan Pak Wiryo. Orang-orang di sekitarnya mulai melihat perubahan dalam dirinya.

Waktu berlalu, dan Raka tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana. Ia tidak hanya dikenal karena kecerdasannya, tetapi juga kerendahan hatinya. Orang-orang desa sering mengingat kata-kata yang ia petik dari ajaran Pak Wiryo: "Ilmu bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk membantu sesama."

Pak Wiryo tersenyum puas melihat perubahan itu. Sebelum pergi meninggalkan desa, ia berkata kepada Raka, "Nak, engkau telah memahami makna sejati dari tembang ini. Ingatlah, berani mengalah akan ditinggikan di kemudian hari. Teruslah berjalan dengan hati yang rendah, seperti air yang mengalir tenang tetapi mampu mengikis batu."

Raka mengangguk. Dalam hatinya, ia berjanji untuk terus menjalani hidup dengan andhap asor, sebagaimana ajaran dari tembang macapat yang mengubah hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun