OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit pagi berwarna keemasan, membingkai desa kecil di kaki gunung. Udara segar menyapa, membawa aroma tanah basah dan kicauan burung yang bersahut-sahutan. Setiap pagi, Wina memulai harinya di bawah pohon mangga tua di halaman rumah. Pohon itu telah menjadi saksi perjalanan hidupnya, dari masa kecil yang ceria hingga usia dewasanya yang penuh pelajaran hidup. Baginya, pohon itu bukan sekadar tempat berteduh, melainkan teman yang diam-diam menyerap segala doa dan harapannya.
Wina adalah seorang guru sekolah dasar. Di balik kesederhanaan hidupnya, ia memiliki prinsip yang kokoh: menanam kebajikan di setiap langkah. Baginya, kebajikan adalah bunga yang mekar di hati, membawa keindahan bagi siapa saja yang mendekat. Namun, ia tahu bahwa kebajikan tidak selalu dihargai, dan itulah tantangannya.
Suatu pagi, saat berjalan menuju sekolah, ia melihat Pak Barto, seorang petani tua, tengah memikul karung beras. Wajahnya penuh kerutan yang berbicara tentang beratnya kehidupan, tetapi senyumnya tetap terpancar. Wina mempercepat langkah.
"Pak Barto, berat sekali itu! Biar saya bantu," ujarnya seraya mengambil salah satu karung dari tangan Pak Barto.
Pak Barto terkejut sejenak, lalu tertawa kecil. "Ah, Nduk Wina, kau ini selalu baik pada orang tua seperti saya."
"Kita semua saling membutuhkan, Pak. Kebahagiaan itu ringan jika dibagi."
Ketika tiba di sekolah, Wina menemukan Dinda, salah satu muridnya, duduk sendirian di sudut kelas. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata. Wina menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.
Dinda menunduk, suaranya bergetar. "Bu Guru, teman-teman tidak mau bermain denganku. Mereka bilang aku aneh."