Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat Sejati

5 Januari 2025   17:16 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Alif, apa yang akan kau lakukan jika rumahku hancur terkena badai?" tanya Bima suatu sore, dengan mata menerawang ke langit yang mulai menggelap. Awan kelabu menggulung seperti gulungan ombak di lautan, membawa firasat buruk yang sulit diabaikan.

Alif, yang sedang mengikat tali jemuran, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia memandang sahabatnya dengan senyum tenang. "Aku akan membantumu membangunnya kembali. Bukankah itu tugas seorang sahabat sejati?"

Bima tertawa kecil, meskipun hatinya tersentuh. "Kau selalu punya jawaban yang membuatku merasa aman, Lif."

Mereka berbincang di bawah langit yang kian muram, tanpa menyadari bahwa badai yang mereka bicarakan akan datang lebih cepat dan lebih dahsyat dari yang mereka bayangkan.

Malam itu, badai menghantam desa dengan kekuatan mengerikan. Angin meraung, menerbangkan genting-genting rumah, merobohkan pepohonan, dan menenggelamkan teriakan-teriakan penduduk dalam gelombang hujan yang deras. Rumah Bima tak luput dari amukan badai. Atapnya terbang entah ke mana, dinding-dindingnya runtuh, menyisakan reruntuhan yang dingin dan basah.

Di tengah kegelapan, keluarga Bima berlari ke tempat yang lebih aman. Mereka berlindung di balai desa bersama penduduk lainnya. Namun, hati Bima hancur. Rumah yang menjadi tempatnya tumbuh dan menyimpan kenangan kini telah menjadi puing-puing.

Keesokan paginya, Alif datang. Ia membawa makanan, selimut, dan sebuah sekop. Tanpa banyak bicara, ia langsung mulai membantu Bima mengumpulkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan.

"Lif... aku tak tahu harus berkata apa," ujar Bima dengan suara serak. Matanya merah, dan bahunya lunglai seperti menanggung beban dunia.

"Tidak perlu berkata apa-apa, Bim," jawab Alif, menepuk pundak sahabatnya. "Kau tidak sendiri. Aku di sini. Bersama-sama, kita akan membangun segalanya dari awal."

Hari-hari berikutnya, Alif menjadi bayangan setia Bima. Ia bekerja tanpa lelah, bahkan kadang-kadang lebih keras daripada Bima sendiri. Ketika Bima mulai putus asa melihat perlahan-lahan kemajuan mereka, Alif selalu hadir dengan kata-kata yang menyemangati.

"Setiap bata yang kita letakkan adalah langkah menuju mimpi baru, Bim. Jangan berhenti sekarang," katanya sambil mengangkat balok kayu ke tempatnya.

Namun, ujian persahabatan mereka tidak berhenti di situ. Saat mereka hampir selesai membangun kembali rumah, Bima difitnah mencuri di pasar. Tuduhan itu mengguncang kepercayaan Bima terhadap orang-orang di sekitarnya.

"Alif, aku tidak melakukannya," ujar Bima suatu malam dengan air mata yang mengalir. "Tapi mereka semua percaya aku bersalah."

"Aku tahu kau tidak melakukannya, Bim," jawab Alif tegas. "Dan aku akan membuktikan bahwa kau tidak bersalah."

Alif bekerja keras membersihkan nama Bima. Ia berbicara dengan saksi, mengumpulkan bukti, hingga akhirnya menemukan bahwa tuduhan itu hanya kesalahpahaman. Ketika kebenaran terungkap, Bima menangis dalam pelukan sahabatnya.

"Kau bukan hanya membersihkan namaku, Lif. Kau mengembalikan kepercayaanku pada dunia," ujar Bima haru.

Beberapa bulan kemudian, rumah Bima berdiri kembali, lebih kokoh daripada sebelumnya. Mereka merayakan pencapaian itu dengan mendaki bukit di pinggiran desa. Dari puncak, mereka memandang desa yang perlahan pulih dari luka-lukanya.

"Lif, aku sering bertanya-tanya, apa yang membuatmu tetap berada di sisiku?" tanya Bima, memecah keheningan.

Alif menatap sahabatnya dan tersenyum. "Sahabat sejati adalah penolong, pendamping dalam suka dan duka, pemberi nasihat, dan orang yang menaruh rasa simpati. Kau telah menjadi semua itu untukku, Bim. Kini giliran aku untuk membalasnya."

Bima terdiam. Kata-kata Alif mengalir seperti air yang menyejukkan jiwanya. Ia tahu bahwa persahabatan mereka bukan sekadar kebetulan, tetapi anugerah yang tak ternilai.

"Jika suatu hari aku harus memilih antara segalanya dan persahabatan ini, Lif," ujar Bima pelan, "aku akan memilih persahabatan ini. Karena di dalamnya ada segalanya."

Alif tersenyum dan menatap matahari yang mulai terbenam. "Dan aku akan selalu ada untuk memastikan pilihanmu tidak pernah salah, Bim."

Persahabatan sejati bukan hanya tentang momen-momen indah, tetapi juga tentang bagaimana kita bertahan di saat tergelap. Alif dan Bima adalah bukti nyata bahwa sahabat sejati adalah anugerah yang mampu mengubah badai menjadi pelangi. Di dunia yang penuh cobaan, mereka adalah lentera yang saling menerangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun