OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil di kaki gunung, hidup seorang lelaki tua bernama Ki Ranu. Orang-orang percaya bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa: mampu membaca pikiran siapa pun yang datang kepadanya. Di depan rumahnya yang sederhana, setiap hari antrean panjang terbentuk. Mereka datang dengan berbagai alasan---ingin tahu rahasia hidup, mencari jalan keluar dari masalah, atau sekadar menguji kebenaran mitos tentang Ki Ranu.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Arka tiba. Wajahnya penuh tanda tanya. Ia adalah seorang pemahat kayu yang tengah dirundung kebimbangan. Karyanya kerap dianggap luar biasa, tapi ia merasa kosong, seperti sesuatu yang penting hilang dalam hidupnya.
Arka menatap Ki Ranu dengan mata penuh harap. "Ki, aku ingin tahu apa yang sebenarnya menghalangiku untuk merasa damai."
Ki Ranu mengangguk pelan dan mengajak Arka masuk ke dalam rumahnya. Di dalam, ruangan itu tampak sederhana namun penuh kehangatan. Di sudut ruangan, terdapat sebuah rak kayu penuh buku tua dan sebuah meja kecil dengan lilin yang menyala.
"Arka," kata Ki Ranu, "pikiranmu adalah gudang kesadaran. Di dalamnya ada ingatan, niat, juga gagasan. Namun, jika tidak kau kelola, ia akan menjadi tempat bagi keraguan, ketakutan, dan rasa iri. Apa yang mengganggumu saat ini mungkin bersumber dari apa yang kau simpan di dalam sana."
"Tapi, bagaimana aku bisa mengelola sesuatu yang tak terlihat?" tanya Arka.
Ki Ranu tersenyum dan mengambil sebuah potongan kayu dari meja. "Kau pemahat, bukan? Setiap kali kau memahat, kau mengeluarkan bagian yang tak diperlukan untuk membentuk sesuatu yang indah. Begitu pula dengan pikiran. Kau harus belajar memilah mana yang patut disimpan dan mana yang harus dilepaskan."
Arka terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ki Ranu melanjutkan, "Cobalah merenung. Masuklah ke dalam lubuk hatimu. Dengarkan pikiran yang paling sering muncul. Di sanalah kunci jawabanmu."
Malam itu, Arka memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon tua di dekat rumahnya. Angin dingin menggoyangkan dedaunan, seperti bisikan yang mengajak pikirannya untuk menjelajahi kedalaman. Ia mulai mendengarkan pikiran-pikiran yang datang dan pergi, seperti awan yang melintasi langit. Awalnya, ia merasa tersesat di antara ingatan-ingatan masa lalu yang menyakitkan dan kekhawatiran tentang masa depan. Namun, perlahan, ia menemukan pola: sebagian besar pikirannya dipenuhi rasa takut gagal.