Rahmat memulai harinya dengan memerhatikan pola kerja dan kebiasaan Tuan Arif. Ia tidak terlalu banyak bicara, namun memastikan setiap tugas diberikan dengan benar. Ketika Tuan Arif sedang sibuk, Rahmat tidak pernah mengganggu kecuali benar-benar diperlukan.
Suatu hari, Tuan Arif diuji oleh sebuah masalah besar: salah satu proyek pentingnya hampir gagal karena ketidaksinkronan data. Rahmat dengan hati-hati menyampaikan solusi sederhana yang ternyata sangat efektif. Tuan Arif kagum.
"Rahmat, aku jarang menemukan orang yang bisa membawa diri sepertimu. Kau tidak hanya membantu pekerjaanku, tetapi juga membuat suasana di sekitarku lebih nyaman. Aku percaya kau akan menjadi pemimpin besar suatu hari nanti," ujar Tuan Arif.
Di tengah kesibukannya, Rahmat sering bermimpi bertemu dengan seorang kakek tua berjubah putih yang memberinya nasihat.
"Rahmat, ingatlah selalu tiga hal: ilatmu adalah pedang, ulatmu adalah tameng, dan ulahmu adalah jembatan. Jika kau mampu menggunakannya dengan bijak, keberkahan akan selalu bersamamu."
Rahmat bangun dengan semangat baru setiap kali mengingat mimpi itu. Ia merasa bahwa setiap tantangan yang dihadapinya adalah ujian untuk mengasah ketiga prinsip tersebut.
Rahmat akhirnya kembali ke desanya sebagai seorang pemimpin yang dihormati. Ia menjadi mediator dalam berbagai konflik antar desa, membuka peluang kerja dengan usaha pertanian yang ia rintis, dan membangun sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu.
Di penghujung hidupnya, Rahmat dikenang sebagai sosok yang mewujudkan kearifan lokal dalam setiap langkahnya. Ia mengajarkan bahwa tutur kata yang baik membawa kedamaian, budi bahasa yang tepat membuka pintu keberuntungan, dan tingkah laku yang bijak menciptakan kepercayaan. Ilat, ulat, dan ulah menjadi warisan yang terus hidup di hati masyarakat Langkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H