OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil bernama Langkat, hiduplah seorang pemuda bernama Rahmat. Ia terkenal sebagai pribadi yang pandai berbicara, ramah, dan memiliki kepekaan luar biasa terhadap orang-orang di sekitarnya. Namun, perjalanan hidupnya tak selalu mulus. Rahmat harus belajar tiga prinsip utama dari kearifan lokal: ilat (tutur kata), ulat (ekspresi dan sikap), serta ulah (tingkah laku).
Suatu hari, Rahmat diundang oleh Pak Lurah untuk menghadiri pertemuan desa. Dalam pertemuan itu, terjadi perdebatan sengit antara warga tentang pembagian hasil panen ladang bersama. Beberapa orang mulai meninggikan suara, hingga suasana menjadi panas.
Melihat situasi itu, Rahmat berdiri. Dengan nada lembut ia berkata, "Saudara-saudaraku, bukankah ladang ini kita kerjakan bersama? Seharusnya hasilnya juga membawa kebaikan untuk kita semua. Mari kita cari solusi yang adil, karena sejatinya kebersamaan itulah yang membuat kita kuat."
Kata-kata Rahmat yang penuh kelembutan dan bijak menenangkan suasana. Orang-orang mulai berbicara dengan kepala dingin, hingga akhirnya mereka mencapai kesepakatan. Namun, setelah rapat selesai, seorang tetua desa, Pak Karim, menghampiri Rahmat.
"Rahmat, kau memiliki kemampuan berbicara yang hebat. Tapi ingatlah, kata-kata yang salah diucapkan di waktu yang salah bisa membawa kehancuran. Hati-hati dalam bertutur kata, karena ilat itu bisa menyelamatkan atau mencelakai." Nasihat itu terus terngiang di benak Rahmat.
Rahmat tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga cermat menyesuaikan sikap dan ekspresinya. Suatu kali, ia diundang untuk menjadi tamu kehormatan dalam acara pernikahan salah satu kepala suku di desa tetangga.
Saat tiba di sana, Rahmat memperhatikan adat dan tradisi yang sangat berbeda dari desanya. Ia melihat bahwa tamu-tamu lain memberikan salam dengan membungkukkan badan dalam-dalam sambil menyentuh tanah sebagai tanda hormat.
Rahmat mengikuti tradisi tersebut tanpa ragu, meskipun itu bukan kebiasaan yang ia kenal. Tindakannya membuat tuan rumah terkesan.
"Anak muda, kau memiliki budi bahasa yang luar biasa. Kami merasa sangat dihormati dengan caramu menyesuaikan diri," kata kepala suku. Sebagai tanda terima kasih, Rahmat dihadiahi sepetak tanah yang kemudian ia gunakan untuk menanam pohon kelapa. Tanah itu kelak menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarganya.
Suatu ketika, Rahmat mendapat kesempatan bekerja sebagai asisten pribadi seorang tokoh terpandang di kota. Sang pimpinan, Tuan Arif, terkenal tegas dan sulit didekati. Banyak orang gagal bekerja dengannya karena tidak mampu membawa diri dengan baik.