OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit jingga membingkai sore saat aku tiba di SMP Ananta, Sanakara, untuk memenuhi undangan menjadi sesepuh. Aroma kayu tua menyapa ketika aku melangkah ke aula yang megah. Pandanganku terhenti pada bangunan tua di sudut halaman, gedung yang dulu hanya kuanggap latar belakang hidupku. Tapi kini, ia memanggil dengan caranya yang sunyi.
Aku duduk di barisan depan, membiarkan kenangan mencuat. Pelajaran algebra dan ilmu ukur selalu jadi momok. Saat itu, aku tak pernah berani bicara soal mata minus, takut dimarahi ayah. Baru setelah Bu Marita menggantikan Bu Riana sebagai guru ilmu ukur, aku beranikan diri bicara. Mevrouw Marita terkenal galak. Aku bilang pada ibu, ingin periksa mata.
"Minusnya tebal, Bu," kata dokter dengan nada serius. Ibu hanya mengangguk, tetapi aku tahu, ada kecewa yang ia sembunyikan.
Di atas podium, suara pembawa acara menggelegar, "Saudara-saudara, mari kita mulai."
Aku menghirup napas panjang, berdiri, lalu mengucapkan sepatah dua kata. Tepuk tangan menggema, tapi aku nyaris tak mendengarnya. Ingatan menarikku kembali pada drama besar di SMP. Saat itu aku memerankan tokoh utama, persis seperti ketika SD. Aku juga pernah diminta membaca puisi pada malam kesenian tutup tahun, meski harus memaksa diri maju. Bu Ninda sampai menangis dua kali, pertama karena keras kepalaku, kedua karena penampilanku yang menyentuh hati.
Tapi, bangunan itu terus memanggilku. Seusai acara, aku berjalan mendekat. Bau lembap bercampur serbuk kayu menyelimuti ruangan yang sunyi. Aku menyusuri lorong sempit hingga ke sudut kecil di ujung. Tiba-tiba langkahku terhenti.
Di sana, di sudut yang dulu selalu kulewati dengan acuh, ada sebuah meja tua yang setengah tertutup debu. Pandanganku terpaku pada ukiran kecil di tepinya, nama yang tertulis dengan huruf goresan murid: Ratri.
Tanganku bergetar saat menyentuh nama itu. Kenangan meledak, memaksa keluar. Aku gadis kecil yang patuh, terlalu takut untuk berteriak. Waktu itu, aku hanya menunduk, membiarkan tangan kasar menggenggam lengan kecilku. Tak ada siapa pun yang tahu. Semua itu terkunci rapat dalam sudut gelap bangunan ini.
Aku mundur selangkah, lalu dua langkah, seolah bayangan masa lalu mengejar. "Berarti kamu gak bandel, ya, sampai gak tahu?" canda Lira kemarin. Aku menjawab dengan setengah tawa, "Aku gadis patuh." Tapi sekarang aku tahu, kepatuhanku dulu adalah rantai yang mengikat.