OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Apakah hidup ini hanya permainan nasib?"
Ratna melontarkan pertanyaan itu sambil menatap keheningan sawah yang terhampar luas di depan rumahnya. Langit malam tampak muram, seolah ikut merasakan beban yang menghimpit hatinya. Bayangan api yang melalap kios kecil mereka seminggu lalu masih terus menghantui benaknya.
"Ratna, hidup ini seperti roda. Kadang kita di atas, kadang di bawah," jawab Bima, suaminya, dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia duduk di tangga, menggenggam segenggam tanah kering. "Tapi roda itu hanya berhenti kalau kita menyerah."
"Apa gunanya kita terus berjuang kalau hasilnya begini, Mas? Kios itu adalah hidup kita, dan sekarang semuanya habis. Apa yang tersisa?" suara Ratna meninggi, bercampur isak.
Bima menatap istrinya dengan mata yang mulai basah. "Yang tersisa adalah kita, Ratna. Aku masih di sini, kamu juga. Itu sudah cukup untuk memulai lagi."
"Memulai lagi?" Ratna tertawa getir. "Dengan apa? Dengan doa? Doa tidak akan membayar utang-utang kita!"
"Kita bisa mencari jalan, Ratna. Aku..." Bima menghentikan kalimatnya, seolah menimbang-nimbang sesuatu. "Aku sudah bicara dengan seorang teman. Dia menawarkan pekerjaan di luar kota. Aku akan pergi ke sana."
Ratna mematung. "Kamu akan meninggalkanku di sini sendirian?"
"Bukan meninggalkan, Ratna. Ini untuk kita. Untuk masa depan kita. Aku akan kembali."
Keputusan itu tidak mudah bagi Ratna, tapi ia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Sebelum keberangkatannya, Bima memeluk Ratna erat. "Jaga dirimu baik-baik. Percayalah, ini hanya sementara."
Namun, bulan demi bulan berlalu tanpa kabar dari Bima. Ratna mulai dihantui rasa cemas yang tak terbendung. Hingga suatu sore, seorang pria asing datang ke rumahnya membawa kabar yang membuat dunianya runtuh.
"Maaf, Bu Ratna," ucap pria itu, terlihat gelisah. "Saya teman kerja suami Anda. Bima mengalami kecelakaan di proyek kami. Dia... dia tidak berhasil diselamatkan."
Ratna membeku. Dunia seolah berhenti berputar. Tubuhnya melemas, jatuh bersimpuh di lantai.
Beberapa minggu setelah kabar itu, Ratna menemukan keberanian untuk membuka kotak barang-barang milik Bima yang dibawa oleh teman kerjanya. Di dalam kotak itu, ia menemukan sebuah surat yang tampaknya ditulis beberapa hari sebelum kejadian nahas itu.
"Ratna,
Jika kamu membaca surat ini, itu artinya aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk pulang. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah menyerah untuk kita. Aku menitipkan sisa gaji terakhirku kepada Pak Hadi. Dia akan mengirimnya untukmu. Gunakan uang itu untuk memulai kembali, Ratna. Jangan menangis terlalu lama. Aku selalu percaya, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan.
Bima."
Ratna terisak membaca surat itu. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Tapi bukan hanya kesedihan yang ia rasakan. Ada kekuatan baru yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.
"Apakah hidup ini hanya permainan nasib?" Ia mengulangi pertanyaan itu, kali ini dengan nada berbeda. Ia menatap sawah di depannya, seolah menemukan jawaban dalam keheningan.
Tidak, hidup ini bukan permainan nasib. Hidup adalah pilihan untuk terus melangkah, meski jalan di depan gelap dan berbatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H