OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Aja rumangsa sekti. Pada dene landhepe. Yen wadung ora bisa kanggo nyukur. Semono uga peso cukur iya ora kena kanggo ngethok kayu. Sakndhuwure langit isih ana langit". (Jangan merasa sakti. Sama-sama tajam. Kapak tidak bisa untuk mencukur. Begitu juga pisau cukur tidak bisa untuk memotong kayu. Di atas langit masih ada langit).
Perspektif Agama Islam
Dalam Islam, terdapat prinsip tawadhu' (rendah hati) yang mengajarkan manusia untuk tidak sombong atas kemampuan atau kelebihannya. Firman Allah dalam QS. Al-Isra: 37 menyatakan:
"Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung."
Ajaran ini mencerminkan bahwa setiap manusia memiliki batas dan tidak boleh merasa paling hebat. Seperti kapak yang tidak bisa mencukur, setiap individu memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Hal ini juga menekankan bahwa kelebihan seseorang harus disertai kesadaran atas kekurangannya, dan di atas setiap manusia masih ada kekuasaan Allah yang Maha Tinggi.
Perspektif Filsafat
Dalam filsafat, ajaran ini dapat dikaitkan dengan prinsip relativitas dan kesadaran diri. Para filsuf seperti Socrates menekankan pentingnya mengenal keterbatasan diri. Ungkapan "aku tahu bahwa aku tidak tahu" mencerminkan kerendahan hati dalam menyadari bahwa tidak ada yang sempurna secara mutlak.
Filsafat juga mengajarkan bahwa setiap objek atau manusia memiliki kegunaan tertentu yang tidak bisa digantikan oleh yang lain. Prinsip ini sejalan dengan konsep teleologi Aristotelian, di mana setiap entitas memiliki tujuan dan fungsi spesifik yang menjadi esensi keberadaannya.
Perspektif Teori Lain yang Relevan
- Psikologi Humanistik
Teori Abraham Maslow tentang aktualisasi diri menekankan bahwa manusia mencapai puncak potensinya saat ia mampu mengenali dan menerima perannya di dunia. Kerendahan hati, sebagaimana diungkapkan dalam pepatah ini, adalah langkah penting untuk memahami bahwa setiap individu unik dan saling melengkapi. - Etika Sosial
Dalam konteks sosial, pepatah ini mengajarkan pentingnya kerja sama dan saling menghormati perbedaan. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama, tetapi setiap individu memiliki kontribusi khusus untuk masyarakat. Prinsip ini memperkuat nilai gotong royong, sebagaimana diajarkan dalam budaya dan agama. - Prinsip Kepemimpinan Servant Leadership
Seorang pemimpin yang baik harus memahami bahwa kehebatan tidak datang dari keangkuhan, melainkan dari kemampuan untuk melayani orang lain sesuai dengan potensi terbaik yang dimilikinya. Kesadaran akan "di atas langit masih ada langit" juga mengajarkan pemimpin untuk selalu belajar dan terbuka terhadap masukan.
Kesimpulan Refleksi
Pepatah ini adalah pengingat akan pentingnya kerendahan hati, pengakuan atas keterbatasan, dan penghormatan terhadap keunikan fungsi setiap individu. Dalam Islam, filsafat, dan teori lain, nilai ini mendorong kita untuk tidak menyombongkan diri, memanfaatkan potensi sesuai tempatnya, serta selalu bersyukur dan sadar bahwa di atas kita masih ada yang lebih tinggi, yaitu Allah SWT atau keteraturan universal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H