OLEH: Khoeri Abdul Muid
Urip kuwi pancen aneh. Wong bisa mituruti wong liya. Nanging ana kalamangsane wong mau ora bisa mituruti awake dhewe. (Hidup itu memang aneh. Seseorang bisa mengikuti orang lain, tetapi ada kalanya ia tidak bisa mengikuti dirinya sendiri.)
Nasihat ini menyentuh fenomena unik manusia: kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan orang lain namun gagal mengendalikan dirinya sendiri. Pesan ini relevan dalam berbagai perspektif, baik agama, filsafat, maupun teori psikologi.
Perspektif Agama Islam
Dalam Islam, pengendalian diri (mujahadah an-nafs) adalah salah satu bentuk ibadah yang utama. Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Nasihat ini mengingatkan bahwa ketaatan kepada Allah dan kemampuan mengikuti nilai-nilai-Nya lebih penting daripada sekadar menyesuaikan diri dengan kehendak manusia lain. Ketika seseorang kehilangan kendali atas dirinya, ia rentan terjebak dalam kesalahan, meskipun terlihat patuh kepada lingkungan sosialnya.
Perspektif Filsafat
Dalam filsafat eksistensialisme, terutama pemikiran Søren Kierkegaard, manusia sering menghadapi "ketidakaslian" atau kehilangan dirinya dalam upaya menyenangkan orang lain. Kierkegaard menyebut bahwa hidup yang otentik adalah ketika seseorang mampu mendengarkan "suara batinnya" daripada hanya mengikuti arus sosial.
Filsuf lain, Friedrich Nietzsche, mengkritik "mentalitas kawanan" (herd mentality), di mana individu lebih sering mengikuti orang lain daripada memimpin dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan pentingnya memiliki kekuatan pribadi untuk bertindak sesuai prinsip dan keyakinan diri.
Perspektif Teori Psikologi