Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penguatan Karakter Siswa Melalui Filosofi Hubungan Burung dan Semut

17 Desember 2024   05:42 Diperbarui: 17 Desember 2024   05:45 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. pixabay.com

 OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Samangsa urip, manuk mangsa semut. Sawuse mati, ganti manuk kang dimangsa semut."

Pepatah Jawa ini menggambarkan dinamika hidup yang senantiasa berubah---sebuah simbol filosofi bahwa dominasi dan keunggulan tidak pernah tetap. Dalam peribahasa ini, seekor burung memangsa semut semasa hidupnya, tetapi ketika ia mati, giliran burung itu yang menjadi mangsa semut. Ini mengajarkan kita tentang prinsip perubahan, kepemilikan kekuasaan yang sementara, serta pentingnya introspeksi dan kerendahan hati dalam menjalani kehidupan.

Secara filsafat, pepatah ini menggambarkan bahwa tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Dalam situasi apa pun, manusia bisa berada di atas atau di bawah, memiliki kekuatan atau menjadi pihak yang lemah. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan adalah kepastian yang tak bisa kita hindari. Ini mengingatkan kita agar tidak semena-mena merendahkan atau menyakiti orang lain, karena pada akhirnya kita juga bisa berada dalam posisi yang sama.

Melalui filosofi ini, kita dapat memahami pentingnya penguatan karakter siswa sebagai fondasi untuk membentuk kepribadian yang kuat, empati, serta adaptif terhadap berbagai perubahan dan dinamika kehidupan.

I. Perspektif Filsafat: Nilai yang Tersirat dalam Perubahan

Dalam filsafat, pepatah "Samangsa urip, manuk mangsa semut" memuat makna relativitas dan perubahan. Konsep ini sejalan dengan pemikiran filsuf Heraclitus yang mengemukakan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan mengalami perubahan yang terus-menerus. Seperti halnya dalam peribahasa tersebut, posisi dominasi---baik sebagai penguasa maupun sebagai pihak yang lemah---bisa berganti sewaktu-waktu. Ini mengajarkan kita tentang fleksibilitas dan penerimaan terhadap perubahan.

Filsafat ini juga dapat dikaitkan dengan konsep Hukum Keadilan Sosial. Ketika kita melakukan ketidakadilan terhadap pihak lain, kita sesungguhnya menciptakan siklus perubahan yang akan berakhir dengan keadilan yang sama. Dengan kata lain, tindakan merendahkan atau menyakiti akan membawa konsekuensi yang sama pada akhirnya.

II. Relevansi dengan Teori dan Praktik dalam Pendidikan

Untuk memahami makna filosofi ini dalam konteks pendidikan, kita dapat mengaitkannya dengan berbagai teori:

  1. Teori Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning - CTL)
    Pembelajaran akan lebih bermakna ketika siswa diajak memahami filosofi melalui praktik dan pengalaman sehari-hari. Melalui aktivitas reflektif, siswa dapat memahami bahwa dominasi atau keunggulan tidak selalu berarti segalanya, serta pentingnya mengembangkan rasa empati.
  2. Teori Konstruktivisme Vygotsky
    Dalam perspektif ini, pengalaman sosial memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman siswa. Dengan membangun kesadaran akan dinamika perubahan dan keadilan sosial, siswa akan belajar tentang pentingnya saling menghargai dan berempati.
  3. Teori Nilai Karakter
    Nilai seperti kejujuran, kerendahan hati, kerja sama, dan empati menjadi inti dalam memahami makna peribahasa ini. Nilai ini perlu ditanamkan melalui lingkungan sekolah dan praktik sehari-hari.

III. Data dan Implikasi dalam Manajemen Penguatan Karakter

Untuk mewujudkan filosofi ini dalam praktik pendidikan, manajemen penguatan karakter harus didasarkan pada pengamatan dan data yang valid:

  1. Observasi Perilaku
    Data bisa diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap perilaku siswa dalam aktivitas sehari-hari. Misalnya, jika terdapat siswa yang sering berperilaku mendominasi atau merendahkan teman lain, maka ini perlu ditangani dengan pendekatan yang berfokus pada refleksi dan pemahaman.
  2. Survei dan Evaluasi Budaya Sekolah
    Melakukan survei lingkungan sekolah untuk melihat sejauh mana nilai-nilai empati, keadilan, dan kerendahan hati sudah menjadi bagian dari budaya sekolah.
  3. Konsistensi Program Karakter
    Menggunakan pendekatan pembelajaran aktif dengan aktivitas reflektif dan pengalaman nyata untuk membantu siswa memahami pentingnya menghargai perubahan dan berempati terhadap kondisi orang lain.

IV. Strategi Manajemen dalam Penguatan Karakter Siswa

Dengan filosofi ini sebagai landasan, berikut adalah strategi dalam penguatan karakter siswa:

  1. Pembelajaran Nilai melalui Aktivitas Reflektif
    Aktivitas yang mendorong siswa merenung tentang makna perubahan, kekuasaan, dan empati dapat membantu mereka memahami pentingnya kerendahan hati.
  2. Teladan dari Guru dan Pemangku Kepentingan
    Seperti yang telah disebutkan, kepemimpinan berdasarkan keteladanan adalah kunci keberhasilan. Para pemangku kepentingan harus menunjukkan sifat kerendahan hati dan keadilan yang mencerminkan nilai-nilai dari pepatah tersebut.
  3. Kolaborasi antara Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat
    Membangun komunikasi yang aktif dengan keluarga dan lingkungan masyarakat untuk membangun lingkungan yang mendukung penerapan nilai karakter.
  4. Program Kegiatan Sosial dan Empati
    Melibatkan siswa dalam kegiatan yang melatih kepedulian sosial, misalnya membantu teman yang kesulitan atau melakukan kegiatan gotong-royong, agar mereka memahami nilai gotong-royong dan kepedulian.

Penutupan

Filosofi "Samangsa urip, manuk mangsa semut. Sawuse mati, ganti manuk kang dimangsa semut" mengajarkan kita tentang siklus perubahan, kerendahan hati, dan refleksi dalam menghadapi dinamika kehidupan. Perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan, dan setiap tindakan kita memiliki konsekuensi yang akan kita alami di masa mendatang.

Dalam konteks pendidikan, mengintegrasikan nilai ini ke dalam manajemen penguatan karakter siswa bukan hanya tugas para guru tetapi juga seluruh pemangku kepentingan. Dengan memahami bahwa kekuasaan dan dominasi bisa berpindah posisi, siswa diajak untuk lebih empati, adil, dan bijak dalam bertindak.

Seperti pepatah ini mengajarkan kita bahwa waktu akan mengubah segalanya, kita harus selalu menjaga kerendahan hati dan keadilan sebagai bekal dalam perjalanan hidup. Semoga melalui refleksi ini, kita dapat membangun generasi yang memiliki karakter kuat, berakhlak mulia, dan siap menghadapi perubahan dengan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun