OLEH: Khoeri Abdul Muid
Hujan mengguyur deras malam itu, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di sebuah kamar kecil di sudut gang sempit, Awan terduduk di kursi reyot sambil menatap kertas-kertas berserakan di atas meja. Matanya merah, napasnya berat. Ia baru saja menerima surat pemberhentian kerja dari pabrik yang menjadi sandarannya selama lima tahun terakhir.
"Bagaimana aku bisa bayar sewa bulan ini?" gumamnya, suaranya parau. Di ranjang kecil, ibunya terbaring lemah dengan selang infus dari botol bekas menggantung di dinding. Penyakit paru-parunya semakin parah, dan obat-obatan kian sulit terbeli.
"Nak, jangan menyerah..." suara ibunya terdengar pelan.
Awan menoleh, mendapati senyum tipis di wajah tua yang penuh garis penderitaan itu. "Bu, aku sudah mencoba. Tapi semua terasa sia-sia. Dunia ini terlalu kejam."
Wanita itu menatapnya dengan sorot mata yang tetap tajam meskipun tubuhnya rapuh. "Nak, kejamnya dunia bukan alasan untuk menyerah. Kalau kau menyerah, kau pecundang. Kau lupa cerita tentang bapakmu? Dia bertarung sampai napas terakhir demi kita."
Awan terdiam, hatinya sesak. Di tengah keputusasaan, ingatan tentang ayahnya justru membakar luka lama. Saat itu, ketukan keras di pintu membuat keduanya terdiam.
Awan membuka pintu dengan ragu, hanya untuk menemukan pria berbadan tegap dengan wajah dingin. Di tangannya, ada amplop lusuh.
"Tiga hari. Kalau kau tak bayar, tahu akibatnya," ancam pria itu, sebelum melempar amplop ke lantai dan pergi tanpa menunggu jawaban.
Awan memungut amplop itu dengan tangan gemetar. Isinya jelas: ancaman dari rentenir yang ia datangi beberapa bulan lalu demi biaya pengobatan ibunya.
Keesokan harinya, Awan berdiri di depan gerbang perusahaan besar. Ia mendengar ada lowongan, meskipun syaratnya jauh di atas kemampuannya. Dengan mengenakan kemeja lusuh dan membawa berkas seadanya, ia masuk.
"Maaf, kami butuh seseorang dengan pengalaman lebih," kata petugas HR dengan nada dingin.
"Tolong, Pak. Saya akan bekerja keras. Saya bersedia lembur tanpa bayaran tambahan. Saya... saya hanya butuh kesempatan," pinta Awan, matanya memohon.
"Tidak ada ruang untuk kompromi di sini. Selamat siang," jawab petugas itu dingin.
Awan keluar dengan langkah berat, tapi di matanya muncul kilatan yang baru. Aku tidak akan kalah, gumamnya dalam hati.
Malam itu, ia menyalakan lampu meja dan mulai mencari peluang di internet. Setelah berjam-jam, ia menemukan lowongan sebagai kurir barang. Gajinya kecil, tapi cukup untuk memulai. Tanpa pikir panjang, ia mendaftar.
Hari-hari berikutnya adalah ujian bagi tubuh dan jiwanya. Ia harus bangun pukul tiga pagi untuk mengambil barang di gudang, lalu mengantarkannya dengan sepeda tua yang sering kempis. Namun, setiap kali rasa lelah menyerang, ia mengingat wajah ibunya yang terus tersenyum meski menahan sakit. Ingatan itu memberinya kekuatan untuk terus mengayuh.
Suatu sore, saat ia baru selesai mengantarkan paket terakhir, seorang pria tua di depan rumah besar memanggilnya. "Nak, kamu tahu ini?" Pria itu menunjuk pada logo kecil di paket yang baru saja diantarkan Awan.
"Ya, Pak. Itu logo perusahaan tempat saya bekerja."
Pria itu tersenyum. "Aku pemiliknya. Kamu pekerja keras, aku suka itu. Kalau kamu mau, datang ke kantor besok. Aku punya sesuatu yang lebih baik untukmu."
Tawaran itu mengubah hidup Awan. Ia diberi posisi sebagai asisten administrasi dengan pelatihan langsung dari pemilik perusahaan. Dalam beberapa bulan, ia berhasil melunasi utang dan membawa ibunya ke rumah sakit untuk perawatan yang lebih baik.
Namun, hidup tidak selalu memberi kebahagiaan tanpa ujian terakhir.
Suatu malam, sepulang kerja, ia menemukan ibunya terdiam di ranjang dengan mata terpejam. Selamanya.
Hatinya hancur. Ia menangis sejadi-jadinya, tetapi di sela tangis itu, kata-kata ibunya kembali terngiang: "Penderitaan hanya kalah oleh mereka yang tidak takut terbakar."
Tahun berlalu. Awan kini menjadi seorang manajer di perusahaan tempat ia dulu hanya seorang kurir. Dalam sebuah wawancara televisi, ia ditanya, "Apa yang membuat Anda bisa mencapai posisi ini meskipun semua tampak mustahil?"
Awan tersenyum, menatap kamera dengan mata berkaca-kaca. "Saya melawan. Karena penderitaan tidak akan hilang jika kita memanjakannya. Hanya api semangat yang bisa membuat kita bertahan."
Namun, di balik senyumnya yang terlihat kuat, ada kehampaan yang tak pernah hilang. Ia telah memenangkan perang melawan dunia, tetapi kehilangan yang ia derita tetap menjadi luka abadi di hatinya.
Dan itulah harga dari sebuah perjuangan: kemenangan yang tak pernah benar-benar utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H