OLEH: Khoeri Abdul muid
Di sudut Fakultas Filsafat, ruang diskusi itu riuh. Para mahasiswa yang biasanya pendiam berubah menjadi api yang berkobar. Topiknya kontroversial: "Kebahagiaan: Pencapaian atau Penerimaan?"
Dina, mahasiswa tingkat akhir yang dikenal pintar dan kritis, berdiri di depan kelas. "Kebahagiaan itu harus dicapai. Bagaimana kita bisa merasa tenang jika tidak memperjuangkan yang terbaik dalam hidup kita?" katanya lantang. Suaranya penuh keyakinan, membungkam diskusi sejenak.
Namun, sebuah suara tenang dari sudut ruangan memecah keheningan. "Tapi bagaimana jika 'yang terbaik' itu ternyata hanya ilusi?" tanya Adrian, mahasiswa baru yang belum banyak dikenal.
Dina menoleh, menatapnya tajam. "Maksudmu?"
Adrian berdiri perlahan, wajahnya tenang. "Kita sering mengejar sesuatu yang kita pikir akan membawa kebahagiaan---pekerjaan, pasangan, uang. Tapi begitu kita mendapatkannya, kita merasa kosong lagi. Kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, tapi menerima apa yang sudah ada."
Hadirin mulai berbisik. Sebagian terlihat mengangguk, yang lain tampak ragu.
Dina tersenyum miring. "Kamu bicara tentang pasrah, kan? Itu hanya alasan untuk orang yang malas berusaha."
Adrian tidak terpancing. "Bukan pasrah. Aku bicara tentang menerima. Ada perbedaan besar di sana. Misalnya, aku ingin sekali menjadi seperti kamu---cerdas, percaya diri, selalu unggul. Tapi jika aku terus membandingkan diri, aku tidak akan pernah tenang. Bukankah lebih baik aku menerima diriku, lalu berusaha sesuai potensiku?"
Dialog itu memanas. Dina terus menyerang argumen Adrian, tapi pemuda itu selalu membalas dengan tenang, membuat Dina mulai kehilangan kendali.