"Apa kamu bilang aku salah dengan berambisi?" Dina akhirnya bertanya dengan nada tinggi.
Adrian menggeleng. "Aku tidak bilang salah. Tapi terkadang, ambisi bisa jadi musuh kebahagiaan. Kebahagiaan ada di sini dan sekarang, bukan di masa depan yang kita impikan."
Kelas menjadi sunyi. Dosen yang dari tadi mengamati dengan senyum kecil akhirnya berdiri. "Kalian hebat. Perdebatan ini mencerminkan dua pandangan hidup yang berbeda tapi sama validnya."
Namun Dina tidak merasa menang. Ada sesuatu dalam kata-kata Adrian yang membuatnya gelisah.
Hari berganti, tetapi perdebatan itu terus terngiang di kepala Dina. Ia berjalan menuju kampus, masih memikirkan jawaban yang lebih kuat untuk Adrian. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di pinggir taman kampus.
Adrian duduk di kursi roda, seorang perawat muda membantunya menyesuaikan posisi duduk. Dina tertegun.
"Adrian?" panggilnya ragu.
Pemuda itu tersenyum ketika melihat Dina. "Hai, Dina. Pagi yang cerah, ya?"
"Apa yang terjadi padamu?" Dina tidak bisa menahan rasa terkejutnya.
"Ini?" Adrian menunjuk kursi rodanya. "Kecelakaan dua tahun lalu. Tulang belakangku cedera. Aku tidak bisa berjalan lagi."
Dina terdiam. Ia teringat betapa Adrian begitu tenang dalam perdebatan mereka kemarin, seolah tidak ada yang membebani hidupnya. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa setenang itu?"