OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sudut kota tua yang memudar di bawah berat waktu, hidup seorang perempuan muda bernama Nara. Rumahnya sederhana, berdiri di antara deretan bangunan yang berderak setiap kali angin malam datang. Nara bekerja sebagai penjaga toko lilin di sebuah kios kecil di pinggir pasar. Lilin-lilin itu terbuat dari tangan, indah dan rumit, dengan aroma lembut yang mengingatkan pada musim semi yang singkat.
Namun, hidup Nara tidak seindah lilin-lilin yang ia jual. Suaminya, Tama, seorang pemahat kayu, telah meninggal setahun lalu dalam kecelakaan kerja. Sejak itu, Nara hidup sendiri, memikul hutang yang tak pernah ia buat, dan harapan yang semakin redup seperti senja yang perlahan menghilang.
Sore itu, seorang pembeli masuk ke toko, seorang wanita kaya bernama Sita. Sita adalah pelanggan tetap yang gemar memamerkan kemewahan hidupnya. Ia mengenakan perhiasan berkilau yang mencolok di bawah cahaya lilin.
"Nara, kapan kamu akan tutup toko kecil ini dan mulai hidup layak?" tanya Sita dengan nada merendahkan. "Maksudku, kamu bisa saja bekerja di pabrik atau menikah lagi. Untuk apa hidup seperti ini, hanya cukup untuk makan?"
Nara tersenyum kecil, walau hatinya terasa tertusuk. "Aku bahagia dengan apa yang aku punya, Sita. Toko ini... lilin-lilin ini adalah bagian dari hidupku dan Tama."
Sita tertawa sinis. "Bahagia? Jangan bercanda, Nara. Hidupmu ini seperti lilin---perlahan meleleh dan hilang tanpa arti."
Namun, sebelum Nara sempat menjawab, suara pintu toko terdengar terbuka lagi. Seorang lelaki tua dengan pakaian kumal masuk, membawa kotak kecil berisi lilin bekas yang hampir habis terbakar.
"Maaf, Nona. Apakah lilin-lilin ini masih bisa dijual kembali? Aku butuh uang untuk makan malam," tanya lelaki tua itu dengan suara lemah.
Sita segera mendengus jijik dan melangkah keluar dari toko, tetapi Nara menatap lilin-lilin itu dengan hati tersentuh. "Tidak, Pak. Lilin-lilin ini tidak bisa dijual. Tapi, bagaimana kalau saya memberimu lilin baru dan makanan?"