Lelaki tua itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nona. Semoga cahaya lilinmu menerangi jalanmu sendiri."
Saat malam tiba, Nara duduk sendirian di toko, menatap lilin-lilin yang menyala redup di rak. Kata-kata Sita dan lelaki tua tadi bergema di kepalanya.
Seorang sahabat lama, Hadi, datang menjenguk. "Nara, kenapa kamu masih bertahan di sini? Kota ini, hidup ini... semuanya tidak adil padamu. Kamu bisa menjual toko ini dan memulai hidup baru."
"Aku tidak bisa, Hadi," jawab Nara. "Ini satu-satunya yang aku punya. Toko ini adalah warisan Tama, tempat kenangan kami hidup. Bagaimana aku bisa meninggalkannya?"
"Tapi kenangan tidak bisa memberimu makan, Nara. Mereka tidak bisa membayar hutangmu," desak Hadi.
Nara terdiam lama, menatap lilin yang hampir padam di depannya. "Mungkin kebahagiaan bukan tentang memiliki lebih banyak, Hadi. Mungkin itu tentang menerima apa yang sudah ada. Aku tidak butuh lebih dari ini. Aku hanya butuh damai."
Beberapa minggu berlalu. Nara terus menjalani hidupnya di toko kecil itu, dengan senyum tenang meskipun kesulitan terus mengintainya.
Namun, suatu malam, pasar terbakar. Api melahap segala yang ada di sekitarnya, termasuk toko lilin Nara. Dia hanya bisa berdiri di kejauhan, melihat semuanya berubah menjadi abu. Hadi datang dengan panik.
"Nara! Ini kesempatanmu untuk pergi! Kamu tidak punya apa-apa lagi di sini!" serunya.
Nara memandang api yang membakar semua kenangannya, tetapi air matanya tak keluar. Dia hanya tersenyum tipis. "Tidak, Hadi. Aku masih punya sesuatu---aku masih punya diriku sendiri."
Dia berbalik pergi, meninggalkan sisa-sisa toko yang pernah menjadi dunia kecilnya. Dalam hati, dia tahu bahwa kebaikan yang ia tanam membuahkan hasil di saat tak terduga.