Sarto menggeleng pelan, tapi akhirnya membiarkan Pak Ngat melanjutkan perjalanan. Ia tahu percuma menghentikan pria sekeras kepala itu.
Di dalam hutan, Pak Ngat harus menghadapi gigitan serangga, rasa lapar, dan dingin yang menggigit. Namun, semua itu tidak ada artinya dibandingkan rasa takut kehilangan istrinya. Ketika ia akhirnya menemukan gubuk tabib tua itu, tubuhnya hampir roboh.
Tabib itu menatapnya dengan pandangan tajam. "Kau terlambat, Pak Ngat. Cairan ini hanya akan bekerja jika diminum sebelum fajar."
Pak Ngat memohon, suaranya serak. "Tolong, beri aku kesempatan. Aku akan lari secepat angin kalau perlu."
Tabib itu akhirnya menyerahkan botol kecil itu. "Semoga keberuntungan berpihak padamu."
Pak Ngat berlari menembus kegelapan, kembali ke rumah sakit. Saat ia tiba, matahari sudah mulai naik di cakrawala. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya penuh luka dan kotoran. Namun, ia tidak peduli. Ia menyerahkan botol itu kepada dokter.
Dokter itu ragu, tapi akhirnya mengalah. Mereka memberi cairan itu kepada Bu Suminah. Keajaiban terjadi: beberapa saat kemudian, napas Bu Suminah perlahan kembali normal. Ia membuka matanya, menatap Lestari yang berada di sampingnya.
"Ibu?" suara Lestari gemetar.
Bu Suminah tersenyum lemah. "Mana bapakmu?"
Lestari terdiam. Tangisnya pecah. Dokter yang berdiri di dekatnya akhirnya menjelaskan. "Bu Suminah, suami Anda telah melakukan segalanya untuk menyelamatkan Anda. Sayangnya, tubuhnya tidak sanggup menahan perjuangan itu."
Di tempat lain, angin malam berbisik lembut, seolah menyampaikan pesan terakhir dari Pak Ngat: keberuntungan selalu bersama mereka yang tak pernah menyerah. Meski dirinya sudah tiada, cintanya abadi.