OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pak Ngat menggenggam erat botol kecil berisi cairan herbal yang baru saja ia ambil dari seorang tabib tua di tengah hutan. Hawa malam Perth yang dingin menusuk tulang tidak membuatnya surut. Di benaknya, hanya ada satu nama: Bu Suminah. Ia tahu, waktunya tak banyak. Dalam diam, ia berdoa agar perjuangannya tidak sia-sia.
Beberapa hari sebelumnya, Bu Suminah terbaring lemah di rumah sakit. Tubuhnya yang dulu penuh semangat kini hampir tak berdaya. Dokter sudah menyerah, menyebut penyakitnya tak bisa disembuhkan. Namun, Pak Ngat tidak mau mendengar itu.
"Tidak ada penyakit yang tak bisa sembuh, kalau kita berusaha," katanya tegas.
Lestari, putrinya, mencoba membujuk. "Pak, dokter sudah bilang. Kita harus ikhlas."
Pak Ngat menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Ikhlas itu nanti, setelah aku sudah mencoba segalanya. Kamu tahu, ibumu adalah hidupku."
Lestari hanya bisa terdiam. Ia tahu betapa keras kepala ayahnya. Namun, ia juga tahu bahwa keras kepala itulah yang membawa mereka sejauh ini.
Pak Ngat mengingat saran seorang kenalannya tentang seorang tabib tua yang tinggal di tengah hutan dekat pinggiran kota Perth. Katanya, tabib itu bisa menyembuhkan penyakit yang dianggap tak tertolong oleh medis. Tanpa berpikir panjang, ia meninggalkan rumah sakit malam itu juga.
Perjalanan ke hutan itu bukan tanpa rintangan. Saat tiba di tepi hutan, seorang pria bernama Sarto, penjaga hutan, mencoba menghentikannya.
"Pak Ngat, hutan ini berbahaya malam-malam begini. Banyak ular dan hewan liar. Kalau bapak kenapa-kenapa, siapa yang akan menjaga Bu Suminah?"
Pak Ngat tersenyum tipis. "Aku tak takut ular atau hewan liar, Sarto. Yang kutakutkan hanya kehilangan dia."