Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Positivity, Bukan Positif Thinking

15 Desember 2024   17:02 Diperbarui: 15 Desember 2024   17:02 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi "Positivity, Bukan Positif Thinking". dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Rin, ayo dong ikut semiloka ini. Pembicaranya Dr. Laila Effendi, loh! Kamu tahu kan, dia pakar psikologi positif yang lagi viral di media sosial?" suara Rara terdengar bersemangat di telepon.

Rini menghela napas. Sejujurnya, hidupnya belakangan ini serasa terjebak dalam labirin. Pekerjaan sebagai copywriter freelance yang tak kenal waktu, tagihan listrik yang mendadak melonjak, dan drama teman serumah yang hobi minjam barang tanpa izin.

Namun, ada satu kata yang menarik perhatiannya. "Positivity." Entah kenapa, kata itu terasa seperti secercah cahaya.

"Baiklah, aku ikut," jawab Rini akhirnya.

Hari itu, aula besar tempat semiloka berlangsung dipenuhi peserta. Banyak yang sudah sibuk berfoto dengan latar belakang spanduk bertuliskan "Positivity: Membangun Hidup yang Lebih Bermakna". Di antara kerumunan, Rini tak sengaja melihat wajah yang familiar.

"Rin? Kamu Rini, kan? Aku Saniwati! Unpaders angkatan 2012!" seru seorang perempuan berambut pendek dengan senyum lebar.

"San! Lama banget nggak ketemu!" Rini langsung memeluk temannya itu. Tak disangka, reuni kecil ini menjadi momen pelepas rindunya pada masa kuliah.

Saat sesi utama dimulai, Dr. Laila Effendi muncul dengan karisma yang luar biasa. Dengan blazer kuning cerah, ia membawa energi yang seolah memenuhi ruangan.

"Teman-teman, hari ini kita tidak akan bicara soal positive thinking. Itu sudah basi," katanya sambil tersenyum. "Kita akan membahas positivity. Ini tentang bagaimana kita mengonstruksi diri sehingga 'masalah' yang kita anggap berat, sebenarnya bisa kita ubah menjadi hal yang netral, bahkan bermakna."

Rini langsung duduk tegak.

"Misalnya," lanjut Dr. Laila, "Anda punya teman serumah yang suka minjam barang tanpa izin. Positif thinking itu mungkin bilang, 'Ya udahlah, mungkin dia lagi butuh.' Tapi positivity itu berkata, 'Kenapa aku nggak anggap ini kesempatan untuk ngobrol terbuka dan melatih asertivitas?'"

Deg. Itu seperti tepat menyindir masalah Rini.

Sesi berikutnya penuh praktik. Ada relaksasi, di mana peserta diminta membayangkan pikiran-pikiran yang mengganduli seperti benda berat yang perlahan dilepaskan. Rini membayangkan tumpukan deadline, drama, dan kelelahan seperti balon yang melayang ke udara.

Kemudian, mereka diajak menulis tiga hal yang selama ini dianggap masalah, lalu mengganti cara memandangnya.

  1. Deadline menumpuk: Bukan masalah, tapi latihan mengelola waktu lebih baik.
  2. Drama teman serumah: Bukan masalah, tapi peluang memperbaiki komunikasi.
  3. Tagihan listrik: Bukan masalah, tapi pengingat untuk lebih bijak menggunakan energi.

Setelah itu, Dr. Laila menutup dengan satu kalimat yang melekat di benak Rini. "Senyumin aja."

Setelah acara selesai, Rini merasa lebih ringan. Saat ia dan Saniwati menyusuri kantin dekat aula, mereka berbicara banyak hal. Bukan soal keluhan hidup, tapi tentang cara baru memandang hidup.

"Rin, aku senang kamu ikut hari ini. Kamu tuh keliatan banget me banget," ujar Sani sambil tertawa.

"Me banget gimana?" tanya Rini bingung.

"Ya, kamu kelihatan sedang nguthak-uthik diri. Lagi ngerangkai semua potongan hidup supaya lebih bermakna. Itu kan inti dari positivity?"

Rini tersenyum. Benar juga, pikirnya. Masalah itu ada, tapi bukan berarti harus membebaninya terus.

"San, kayaknya aku mau mulai senyumin hidup aja," katanya sambil tertawa kecil. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, tawanya terasa benar-benar tulus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun