Rini langsung duduk tegak.
"Misalnya," lanjut Dr. Laila, "Anda punya teman serumah yang suka minjam barang tanpa izin. Positif thinking itu mungkin bilang, 'Ya udahlah, mungkin dia lagi butuh.' Tapi positivity itu berkata, 'Kenapa aku nggak anggap ini kesempatan untuk ngobrol terbuka dan melatih asertivitas?'"
Deg. Itu seperti tepat menyindir masalah Rini.
Sesi berikutnya penuh praktik. Ada relaksasi, di mana peserta diminta membayangkan pikiran-pikiran yang mengganduli seperti benda berat yang perlahan dilepaskan. Rini membayangkan tumpukan deadline, drama, dan kelelahan seperti balon yang melayang ke udara.
Kemudian, mereka diajak menulis tiga hal yang selama ini dianggap masalah, lalu mengganti cara memandangnya.
- Deadline menumpuk: Bukan masalah, tapi latihan mengelola waktu lebih baik.
- Drama teman serumah: Bukan masalah, tapi peluang memperbaiki komunikasi.
- Tagihan listrik: Bukan masalah, tapi pengingat untuk lebih bijak menggunakan energi.
Setelah itu, Dr. Laila menutup dengan satu kalimat yang melekat di benak Rini. "Senyumin aja."
Setelah acara selesai, Rini merasa lebih ringan. Saat ia dan Saniwati menyusuri kantin dekat aula, mereka berbicara banyak hal. Bukan soal keluhan hidup, tapi tentang cara baru memandang hidup.
"Rin, aku senang kamu ikut hari ini. Kamu tuh keliatan banget me banget," ujar Sani sambil tertawa.
"Me banget gimana?" tanya Rini bingung.
"Ya, kamu kelihatan sedang nguthak-uthik diri. Lagi ngerangkai semua potongan hidup supaya lebih bermakna. Itu kan inti dari positivity?"
Rini tersenyum. Benar juga, pikirnya. Masalah itu ada, tapi bukan berarti harus membebaninya terus.