OLEH: Khoeri Abdul Muid
Ponco: "Mas Silo, saya dengar Pilkada rencananya mau dikembalikan ke DPRD. Itu kok rasanya seperti langkah mundur buat demokrasi kita? Bukannya demokrasi langsung lebih melibatkan rakyat?"
Silo: "Ponco, pandangan itu wajar. Tapi mari kita telaah lebih dalam. Sebenarnya, wacana ini muncul karena ada beberapa persoalan serius dalam Pilkada langsung. Salah satu masalah utamanya adalah biaya demokrasi yang terlalu tinggi, atau high-cost democracy. Misalnya, anggaran Pilkada pada tahun 2024 mencapai Rp 41 triliun, hampir 11,7% dari APBN. Itu anggaran besar yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti pembangunan infrastruktur di daerah."
Ponco: "Tapi bukannya demokrasi langsung lebih demokratis? Rakyat kan jadi punya suara langsung untuk memilih pemimpinnya."
Silo: "Benar, Pilkada langsung memberikan kesempatan rakyat untuk terlibat. Tapi ada tantangan lain. Berdasarkan data BPS, sekitar 37,62% penduduk Indonesia hanya tamat SD atau SMP. Artinya, tingkat pendidikan pemilih masih rendah. Dalam kondisi seperti ini, kualitas keputusan politik masyarakat cenderung terpengaruh oleh politik uang atau kampanye yang hanya menonjolkan popularitas, bukan kualitas."
Ponco: "Jadi menurut Mas Silo, rakyat kita belum siap untuk demokrasi langsung?"
Silo: "Bukan soal siap atau tidak, tapi apakah mekanismenya menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Demokrasi langsung memang ideal di negara dengan tingkat pendidikan dan literasi politik tinggi. Tapi di negara kita, sering terjadi inflasi demokrasi. Prosesnya terlalu prosedural, mahal, dan terkadang menghasilkan pemimpin yang kurang kompeten. Selain itu, sering ada konflik horizontal pasca-Pilkada karena hasilnya tidak diterima."
Ponco: "Kalau Pilkada dikembalikan ke DPRD, bukannya justru membuka peluang lebih besar untuk korupsi? Misalnya, serangan fajar akan pindah ke anggota DPRD."
Silo: "Itu kekhawatiran yang valid. Namun, argumen pendukung sistem ini adalah korupsi akan lebih mudah diawasi jika difokuskan di DPRD. Syaratnya, pengawasan harus diperkuat, misalnya melalui KPK dan Bawaslu. Selain itu, demokrasi perwakilan ini sebenarnya bukan hal baru. Para pendiri bangsa, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, merancang UUD 1945 dengan semangat demokrasi perwakilan karena menganggapnya lebih cocok untuk Indonesia yang beragam dan memiliki tantangan besar dalam pemerataan pendidikan."
Ponco: "Jadi, Mas Silo setuju dengan ide ini?"
Silo: "Setuju atau tidak, kita perlu menilai dari sisi manfaat dan risikonya. Saya pikir, yang terpenting adalah menciptakan sistem yang efisien dan tetap menjaga akuntabilitas. Kalau Pilkada kembali ke DPRD, harus ada reformasi besar-besaran di bidang hukum dan pendidikan politik. Misalnya, memperkuat pengawasan independen, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan membatasi biaya kampanye."
Ponco: "Berarti Mas Silo melihat ini sebagai peluang untuk efisiensi anggaran?"
Silo: "Tepat sekali. Presiden Prabowo mengatakan bahwa disiplin fiskal adalah prioritas. Dengan mengurangi biaya Pilkada, dana sebesar Rp 41 triliun bisa digunakan untuk pembangunan. Misalnya, tiap provinsi bisa mendapat tambahan Rp 1,08 triliun untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur dasar. Selain itu, lembaga seperti KPU dan Bawaslu bisa dibuat bersifat ad hoc untuk menekan biaya operasional."
Ponco: "Tapi bukankah ini juga akan mengurangi partisipasi rakyat dalam demokrasi?"
Silo: "Benar, itu risiko besar yang harus dikelola. Jika sistem ini diterapkan, maka partisipasi masyarakat harus tetap diakomodasi melalui mekanisme pengawasan transparan dan pemberdayaan politik lokal. Kita juga bisa mengadopsi model campuran, di mana Pilkada untuk jabatan tertentu tetap langsung, sementara lainnya melalui DPRD. Dengan begitu, kita bisa mencari keseimbangan antara efisiensi dan partisipasi."
Ponco: "Wah, saya jadi banyak belajar, Mas Silo. Jadi, wacana ini bukan semata-mata langkah mundur, ya?"
Silo: "Tidak selalu. Demokrasi itu dinamis. Kita terus mencari bentuk yang paling sesuai dengan kondisi bangsa. Tantangannya adalah memastikan transisi ini tidak disalahgunakan dan tetap melibatkan rakyat secara substansial, bukan sekadar formalitas."
Ponco: "Kalau begitu, saya setuju. Tapi tetap harus ada pengawasan ketat, ya, Mas?"
Silo: "Betul, Ponco. Pengawasan adalah kunci. Karena demokrasi itu bukan hanya soal memilih, tapi memastikan yang terpilih bekerja untuk rakyat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H