Ayahnya hanya memandangnya dengan kemarahan yang sulit ia sembunyikan.
"Kau memalukan kami, Ibrahim! Pemikiran ini asing, dan kau telah merusak tradisi kita!" seru sang ayah dengan suara yang bergetar.
Ibrahim merasa hatinya hancur, namun ia tetap berusaha menjaga ketabahannya. Ia mengerti bahwa ia tidak bisa memaksakan kebenaran kepada mereka yang menutup hati.
Setelah pertemuan dengan ayahnya dan kerabat lainnya, Ibrahim termenung di bawah pohon besar yang sering ia dan Sharah jadikan tempat untuk merenung. Malam itu, udara sejuk berhembus lembut, dan bintang-bintang berkelip di langit yang gelap.
"Ya Allah, aku tahu ini berat. Tetapi aku juga tahu bahwa Engkaulah yang membimbingku," ucap Ibrahim dalam doanya.
Sharah duduk di sebelahnya, memegang tangan suaminya dengan lembut.
"Kita sudah berusaha sebaik mungkin, Ibrahim. Tugas kita hanya berdakwah dengan cinta dan kesabaran. Allah akan membimbing mereka yang berusaha mencari jalan-Nya," ujar Sharah sambil menatap langit malam yang tenang.
Ibrahim mengangguk perlahan. Dalam hatinya, ia memahami bahwa harta rohani tidak hanya tentang mendorong orang untuk mengikuti seruan, tetapi tentang menunjukkan ketulusan, kesabaran, dan cinta yang bisa menjadi teladan.
Hari-hari berlalu dengan penuh ketabahan. Ibrahim terus berdakwah sambil menanamkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Tak semuanya berhasil ia ajak, namun ia tahu bahwa kebenaran bukan soal berapa banyak yang mengikuti, melainkan seberapa besar niat yang ia jalani dengan tulus.
Setiap doa yang ia panjatkan, setiap senyum yang ia berikan kepada orang lain, setiap langkah yang ia tempuh adalah bagian dari harta rohani. Dan meskipun jalannya berat, Ibrahim yakin bahwa Allah akan memberi balasan yang indah pada akhirnya.
Akhirnya, melalui keyakinan, kesabaran, dan ketulusan hati, Ibrahim dan Sharah menemukan kedamaian. Mereka sadar bahwa perjuangan mereka bukan untuk memaksa, tetapi untuk memberi inspirasi, menunjukkan keteladanan, dan membiarkan mereka yang tertarik untuk menemukan jalan mereka sendiri.