OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aku berdiri di ruang tamu, memandangi rak penuh keladi yang tersusun rapi. Daun-daunnya berwarna-warni seperti pelangi. Tapi hari ini, semua itu terasa hampa.
"Mom, keladi lagi?" suara Ray, anakku, mengagetkan.
Aku menoleh dan mendapati dia berdiri dengan tangan bersilang. Tatapannya tajam, seperti tak lagi sabar melihat hobi mahalku ini.
"Jangan marah ya, Ray," kataku pelan, mencoba tersenyum. "Mom suka keladi. Ini bikin Mom bahagia."
Dia mendekat, matanya menembus hingga ke hatiku. "Mom tahu nggak, aku udah lama nggak nanya apa-apa soal keladi-keladi ini? Karena aku pikir, duitnya Mom sendiri kan, asal Mom bahagia."
Kata-katanya menusuk. Aku tahu dia tak bermaksud menyakiti, tapi tetap saja aku merasa seperti diterjang ombak besar.
Kilas balik menghantamku seperti badai. 2020, pandemi awal.
Semua terasa kacau. Pekerjaan suamiku, Evan, mandek. Penghasilan kami nyaris habis untuk kebutuhan dasar. Tapi aku? Aku terus membeli keladi, seakan daun-daunnya bisa menjadi obat pelipur lara.
"Beli lagi?" suara Evan malam itu datar, bahkan terlalu datar.