OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kamu pernah merasa seperti hidupmu hanya sebuah rutinitas kosong? Seperti ada sesuatu yang hilang, namun kamu tak tahu apa itu?Â
Begitulah perasaan Rifan. Di sebuah pesantren terpencil, ia terjebak dalam kebingungannya. Semua yang ia lakukan---ibadah, belajar, bahkan berbagi---ternyata tidak bisa menghilangkan rasa hampa yang semakin menggerogoti hatinya.
Pada hari itu, di ruang kelas yang sunyi, Kyai Zainal, pengasuh pesantren, memulai pelajaran bab kedua dari Kitab Sulam Taufiq, yang mengajarkan tentang keutamaan iman dan ikhlas dalam beramal. Santri-santri mendengarkan dengan seksama, namun bagi Rifan, kata-kata Kyai Zainal seperti tidak mampu menjangkau hatinya.
"Ikhlas itu bukan sekadar menuruti perintah agama," kata Kyai Zainal dengan penuh wibawa, "tetapi tentang melepaskan segala harapan akan imbalan. Ikhlas adalah menghadirkan ketulusan dalam setiap amal, tanpa mengharapkan apa-apa."
Namun, kalimat itu justru mengguncang Rifan. Apakah ikhlas itu hanya soal melupakan segala harapan? Rifan tidak yakin. Sejak ia datang ke pesantren, ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, beramal sebanyak mungkin, namun kenapa ia merasa semakin kosong? Kenapa setiap amal yang ia lakukan seakan tidak pernah cukup?
Sampai akhirnya, pertanyaan itu terlontar tanpa terkendali.
"Kyai!" teriaknya, "Bagaimana jika kita beramal hanya karena takut dosa atau ingin mendapat balasan? Apakah itu masih bisa disebut ikhlas?"
Kelas menjadi hening. Semua santri menoleh dengan terkejut. Kyai Zainal terdiam sejenak, lalu menatap Rifan dengan tatapan tajam namun penuh kasih.
"Rifan," jawabnya pelan, "Ikhlas itu tidak bisa dipaksakan. Ia datang saat kita benar-benar melepas segala ikatan duniawi dan hanya mengharap ridha Allah."