Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertaruhan Takdir

6 Desember 2024   11:46 Diperbarui: 6 Desember 2024   12:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah kamu pernah merasa seperti hidupmu hanya sebuah rutinitas kosong? Seperti ada sesuatu yang hilang, namun kamu tak tahu apa itu? 

Begitulah perasaan Rifan. Di sebuah pesantren terpencil, ia terjebak dalam kebingungannya. Semua yang ia lakukan---ibadah, belajar, bahkan berbagi---ternyata tidak bisa menghilangkan rasa hampa yang semakin menggerogoti hatinya.

Pada hari itu, di ruang kelas yang sunyi, Kyai Zainal, pengasuh pesantren, memulai pelajaran bab kedua dari Kitab Sulam Taufiq, yang mengajarkan tentang keutamaan iman dan ikhlas dalam beramal. Santri-santri mendengarkan dengan seksama, namun bagi Rifan, kata-kata Kyai Zainal seperti tidak mampu menjangkau hatinya.

"Ikhlas itu bukan sekadar menuruti perintah agama," kata Kyai Zainal dengan penuh wibawa, "tetapi tentang melepaskan segala harapan akan imbalan. Ikhlas adalah menghadirkan ketulusan dalam setiap amal, tanpa mengharapkan apa-apa."

Namun, kalimat itu justru mengguncang Rifan. Apakah ikhlas itu hanya soal melupakan segala harapan? Rifan tidak yakin. Sejak ia datang ke pesantren, ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, beramal sebanyak mungkin, namun kenapa ia merasa semakin kosong? Kenapa setiap amal yang ia lakukan seakan tidak pernah cukup?

Sampai akhirnya, pertanyaan itu terlontar tanpa terkendali.

"Kyai!" teriaknya, "Bagaimana jika kita beramal hanya karena takut dosa atau ingin mendapat balasan? Apakah itu masih bisa disebut ikhlas?"

Kelas menjadi hening. Semua santri menoleh dengan terkejut. Kyai Zainal terdiam sejenak, lalu menatap Rifan dengan tatapan tajam namun penuh kasih.

"Rifan," jawabnya pelan, "Ikhlas itu tidak bisa dipaksakan. Ia datang saat kita benar-benar melepas segala ikatan duniawi dan hanya mengharap ridha Allah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun