"Apa ini sebabnya aku sulit memahami pelajaran?" pikirnya.
Keesokan harinya, Naufal menemui Pak Syarif di ruang guru. Dengan wajah penuh penyesalan, ia berkata, "Pak, saya minta maaf. Selama ini saya sering berkata tidak sopan tentang Bapak. Saya ingin memperbaiki sikap saya dan belajar dengan lebih baik."
Pak Syarif tersenyum lembut. "Langkah pertama yang baik, Naufal. Guru bukan hanya pemberi ilmu, tapi juga pembuka jalan. Kalau kamu menghormati guru, jalan itu akan lebih mudah dilewati."
Selain meminta maaf, Naufal juga mulai memperbaiki hubungannya dengan teman-teman. Ia berhenti berebut kursi, mulai membantu mereka yang kesulitan belajar, dan belajar dengan niat untuk memahami, bukan sekadar mengejar nilai.
Sebulan kemudian, Naufal menghadapi ujian matematika terakhir sebelum penilaian akhir semester. Saat membaca soal-soalnya, ia merasa seperti berada di tengah badai. Soal-soal itu lebih sulit dari biasanya.
Tapi, kali ini Naufal berbeda. Ia mengingat pesan Pak Syarif, "Jangan takut pada kesulitan. Fokuslah pada proses."
Dengan tenang, ia mengerjakan satu demi satu soal, menggunakan logika yang ia pelajari dari latihan dan pengajarannya. Saat bel berbunyi, ia menyerahkan kertasnya dengan keyakinan baru.
Ketika nilai ujian diumumkan, Naufal mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Teman-temannya kagum, bahkan Pak Syarif memuji perubahan sikap dan semangat belajarnya.
"Rahasiamu apa, Naufal?" tanya salah satu temannya.
Ia tersenyum dan berkata, "Bukan hanya belajar keras, tapi juga belajar dengan hati. Hormati guru, jaga adab, dan luruskan niatmu. Kalau itu kamu lakukan, ilmu sendiri yang akan mendatangimu."
Sejak saat itu, Naufal tidak hanya menjadi siswa yang cerdas, tetapi juga teladan dalam sikap dan adab.