Setelah Isya, Yusuf dan Hasan menemui Kiai Harun di beranda pesantren. Kiai sedang menyesap teh hangat sambil membaca kitab kuning.
"Ada apa, anak-anakku?" tanya beliau dengan suara lembut.
Yusuf menceritakan kegelisahannya. Kiai mendengarkan dengan sabar, lalu berkata,
"Yusuf, pernahkah kau melihat seorang anak kecil yang menangis meminta sesuatu kepada ibunya?"
Yusuf mengangguk. "Pernah, Kiai."
"Anak itu tidak tahu bagaimana merangkai kata-kata indah. Ia hanya menangis, tapi ibunya tetap memahaminya, bukan?"
Yusuf terdiam, mulai memahami arah pembicaraan itu.
"Begitu pula dengan Allah, Nak. Allah tidak butuh rangkaian kata yang sempurna. Dia lebih melihat hatimu. Bahkan jika kau lupa, Allah tidak pernah lupa kebutuhanmu. Yang penting, kau yakin bahwa Dia mendengar."
Yusuf menunduk, matanya mulai basah. "Tapi, Kiai, bukankah doa yang tertata lebih baik?"
Kiai tersenyum. "Tentu saja. Karena doa yang tertata adalah bagian dari adab kita kepada Allah. Tapi ingat, Yusuf, doa terbaik adalah doa yang disertai keyakinan penuh. Ibarat benih yang kau tanam, meskipun kau lupa jenis benihnya, Allah tahu kapan ia tumbuh, kapan ia berbunga, dan kapan ia berbuah."
Sejak malam itu, Yusuf belajar memperbaiki doanya. Ia tak lagi takut jika lupa, karena ia yakin Allah Maha Mendengar.
Ketika ujian beasiswa tiba, teman-temannya cemas memikirkan hasil. Namun, Yusuf tetap tenang. Ia percaya pada ikhtiar dan doa yang selama ini ia panjatkan. Ketika hasil diumumkan, nama Yusuf ada di antara penerima beasiswa ke universitas Islam ternama.
Yusuf menunduk penuh syukur. Ia teringat pelajaran dari Kiai Harun, dan kini ia ingin membagikan pelajaran itu kepada teman-temannya.