OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah pesantren sederhana, hiduplah seorang santri bernama Yusuf. Ia adalah anak bungsu dari keluarga petani di pelosok desa. Yusuf dikenal lembut hatinya, tapi ia sering merasa kurang percaya diri dibanding teman-temannya. Hafalannya tak secepat mereka, dan pemahamannya tentang pelajaran sering tertinggal.
Namun, ada satu hal yang membuat Yusuf berbeda. Selepas salat, ia selalu berdoa panjang, melipat tangannya dengan khusyuk. Namun, begitu mengucapkan "Aamiin," ia sering terdiam. Dalam hati, ia bertanya, "Tadi aku meminta apa?"
Di pesantren, teman-temannya sering mengejek kebiasaannya.
"Yusuf, doa panjang tapi lupa sendiri. Apa Allah mengerti permintaanmu?" tanya Taufik dengan nada meledek.
Hasan, sahabat Yusuf, mencoba membela. "Taufik, jangan begitu. Doa itu urusan hati, bukan urusan kita."
Namun, ucapan Taufik terus terngiang di kepala Yusuf. Ia mulai mempertanyakan dirinya. Apakah Allah mendengarku jika aku sendiri lupa? Apakah aku hanya membuang waktu?
Malam itu, Yusuf tak bisa tidur. Ia duduk di atas sajadah di sudut asrama. Air matanya jatuh, membasahi Al-Qur'an yang terbuka di depannya.
"Ya Allah, aku ini hamba-Mu yang penuh kekurangan. Apakah doaku masih Kau dengar?"
Hasan yang baru selesai mengaji menghampirinya. "Yusuf, kenapa kau menangis?" tanyanya lembut.
Yusuf mengusap wajahnya. "Hasan, aku merasa doaku sia-sia. Aku berusaha, tapi aku selalu lupa apa yang aku pinta. Apa gunanya berdoa jika seperti ini?"
Hasan tersenyum kecil. "Yusuf, ayo kita temui Kiai Harun. Beliau pasti punya jawabannya."