OLEH: Khoeri Abdul Muid
Amara memandangi cangkir cappuccino-nya yang setengah kosong. Sudut-sudut Kedai Kopi Senja terasa begitu familiar---kursi kayu yang sedikit reyot, rak penuh buku tua, dan aroma robusta yang khas. Namun, ada yang lain malam ini, sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuatnya resah.
"Amara!" Kyla melambai riang dari pintu masuk. Penampilannya masih seperti dulu---jaket denim lusuh, sneakers putih, dan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai. "Akhirnya kita ketemu lagi! Eh, kapan terakhir kita nongkrong di sini? 2017 atau 2019?"
Amara tersenyum kecil. "Aku lupa pastinya. Tapi ya ampun, seneng banget akhirnya kita bisa ngopi bareng lagi."
"Eh, Naya mana? Harusnya dia udah sampai, kan?" Kyla melirik ke meja kosong di sebelah mereka.
Amara menghela napas. "Belum. Tapi aku yakin dia bakal datang. Naya selalu tepat waktu."
Tak lama, sosok Naya muncul di pintu. Rambut panjangnya digelung rapi, kaus putih oversized, dan tote bag hitam bertuliskan "Breathe Deeply." "Halo, squad nostalgia!" sapanya ceria. "Akhirnya ngumpul lagi, ya. Dulu masa-masa slim, sekarang versi ideal!"
Mereka bertiga tertawa. Suasana menjadi lebih hangat, obrolan tentang masa lalu dan mimpi-mimpi yang belum terwujud mengalir begitu saja. Namun, semakin lama, Amara merasa ada sesuatu yang salah.
Ketika Naya pergi ke toilet, Amara menatap Kyla dengan ekspresi serius. "Kyla, kamu nggak merasa ada yang aneh?"
Kyla mengernyit. "Aneh gimana?"