Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dzul Qornain di Tengah Senja

3 Desember 2024   06:49 Diperbarui: 3 Desember 2024   06:50 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. liputan6.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Senja di pelataran rumah tua itu terasa ganjil. Angin membawa aroma basah tanah yang tak biasa, seakan ada rahasia besar yang hendak terkuak. Aku duduk berhadapan dengan Mastini, sahabat sekaligus lawan diskusi yang tak pernah gagal membuat pikiranku tergelitik.

"Mastini, apa kau tahu mengapa Alexander Agung, atau Iskandar dalam bahasa Arab, disebut sebagai Dzul Qornain oleh sebagian mufasir?" tanyaku sambil memutar cangkir teh di tanganku.

Mastini tersenyum tipis, matanya yang tajam langsung menatapku penuh selidik. "Tentu. Tapi aku yakin, kau bukan bertanya karena tidak tahu jawabannya. Apa yang kau cari kali ini, Tono?"

Aku tertawa kecil, mengakui tuduhannya. "Kau benar. Aku hanya ingin melihat sejauh mana pemahamanmu. Bagaimana dengan makna literal dari Dzul Qornain?"

Ia mengambil jeda, lalu menjawab dengan tenang. "Dzul dalam bahasa Arab itu serba guna, seperti 'de,' 'das,' atau 'dis' dalam bahasa Etruska. Bisa bermakna positif---pemilik sesuatu---atau sebaliknya. Tapi, apakah itu cukup menjelaskan siapa sebenarnya Dzul Qornain?"

Aku mengangguk perlahan. "Persis! Itulah inti pertanyaan yang sering membuat para mufasir terpecah. Banyak yang percaya bahwa Dzul Qornain adalah Alexander Agung, tapi benarkah ia sosok yang berani menghadapi gajah dan nyamuk di India, sementara ia sendiri tercatat takut pada dua hal itu?"

Mastini tersenyum lebih lebar. "Itu adalah kesalahan narasi sejarah yang sering direproduksi. Tapi, Tono, bukankah pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah kita, sebagai generasi penerus, terus mengulang pemahaman yang tidak utuh atau mencoba memahaminya dengan cara baru?"

Aku tertegun. Jawabannya seperti cambuk yang menyentak kesadaranku. Namun, sebelum aku sempat merespons, suara keras dari dalam rumah memecah keheningan.

"Sudah cukup perdebatanmu, Tono!" teriak suara berat Ayahku. Ia berdiri di ambang pintu dengan sorot mata marah. "Kau terlalu sibuk mencari jawaban atas hal-hal yang bahkan para ulama besar pun tidak sepakat. Bagaimana kau bisa mengabaikan masalah nyata di depan mata?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun