Seorang pemuda bernama Ali, duduk di barisan depan, menyela. "Tapi, Ustaz, bukankah semua ini hanya soal nama? Mengapa kita harus mempermasalahkannya?"
Ibrahim menatap Ali, lalu mengangkat Al-Qur'an di tangannya. "Ini bukan sekadar soal nama, Ali. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan agama kita. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa melanggengkan informasi yang tidak sepenuhnya benar."
Suasana menjadi semakin tegang. Siti kembali angkat bicara, kali ini dengan nada lebih lembut. "Ustaz, jadi apa yang sebaiknya kita lakukan? Bagaimana kita menyikapi perbedaan ini?"
Ibrahim menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Kita perlu bersikap bijak. Menghormati para mufasir, tapi juga tidak takut untuk mencari kebenaran dengan pendekatan yang lebih luas. Intokiah, atau Antiokia, adalah simbol perjalanan pengetahuan---baik dalam sejarah Musa dan Khidir, maupun dalam kampanye Alexander Agung. Keduanya mengajarkan kita untuk terus belajar tanpa batas."
Pak Ahmad mengangguk perlahan, tanda ia mulai memahami maksud Ibrahim. Suasana di aula berangsur-angsur mereda.
Namun, di balik aula, seorang pria misterius mengamati diskusi tersebut. Ia adalah sejarawan independen yang datang dari kota lain. "Ibrahim," gumamnya, "kau telah membuka pintu yang berbahaya. Sejarah bukan hanya tentang kebenaran, tetapi juga tentang siapa yang berkuasa untuk menulisnya."
Malam itu, Desa Intokiah tidak hanya mendengarkan kisah sejarah, tetapi juga merasakan percikan konflik yang memantik renungan panjang. Di tengah ketegangan dan keheningan, satu hal menjadi jelas: pencarian kebenaran sering kali adalah perjalanan penuh duri, tetapi selalu layak diperjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H