OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam di Desa Intokiah---sebutan lokal untuk Antiokia---selalu penuh bisikan sejarah. Namun, malam itu, Aula Al-Furqan dipenuhi oleh riuh suara debat. Di tengah ruangan, seorang ulama muda bernama Ustaz Ibrahim berdiri dengan tangan gemetar, menatap audiensnya yang beragam.
"Antiokia, atau dalam bahasa Arab disebut Intokiah, adalah kota yang dikenal sejak zaman Musa. Tapi, benarkah itu?" Suaranya bergetar. Ia tahu, pembicaraan ini bisa memantik konflik, tapi ia harus menyampaikannya.
Seorang pria tua di sudut aula, Pak Ahmad, menyipitkan matanya. "Ustaz, apa maksudmu? Bukankah para mufasir sepakat bahwa Intokiah adalah kota yang Musa singgahi saat berguru pada Khidir?"
Ibrahim mengangguk pelan. "Benar, itu pendapat yang populer. Tapi bukti-bukti dari Al-Qur'an dan Hadis tidak pernah menyebut nama kota secara eksplisit."
Ruangan menjadi gaduh. Beberapa hadirin saling berbisik. Ada yang mencatat, ada yang gelisah.
Seorang wanita muda bernama Siti berdiri dari kursinya. "Tapi, Ustaz, kenapa banyak ulama tetap menyebut Intokiah? Dari mana asalnya keyakinan itu?"
Ibrahim tersenyum samar. "Mungkin karena kaitan historis dengan Antiokhus, seorang jenderal Yunani dari abad ke-4 SM. Kota ini dinamai sesuai namanya. Namun, kaitannya dengan Musa dan Khidir lebih bersifat spekulatif."
Pak Ahmad berdiri, kali ini dengan nada lebih tegas. "Jadi, apa yang ingin kau sampaikan, Ustaz? Bahwa para mufasir itu keliru?"
Konflik mulai memanas. Ibrahim menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan suasana. "Bukan begitu, Pak Ahmad. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk berpikir kritis. Apa mungkin kita terlalu cepat menarik kesimpulan tanpa bukti konkret?"