OLEH: Khoeri Abdul Muid
18 Agustus 1945, udara Jakarta terasa terik. Di Gedung Cuo Sangi In, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) baru saja selesai. Keputusan yang sangat penting telah diambil---Indonesia merdeka! Soekarno, yang duduk dengan wibawa, telah dipilih sebagai Presiden pertama. Sorakan bergema, namun Soekarno tetap tenang, menyadari beban yang kini dipikulnya.
Setelah rapat selesai, Soekarno melangkah keluar dari gedung. Tak ada mobil mewah yang menunggunya, tak ada iring-iringan kendaraan resmi. Tanpa rasa canggung, ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tidak ada yang mengira, di tengah momen bersejarah ini, presiden pertama Indonesia akan melalui jalan yang begitu sederhana.
Di tengah perjalanan, perut Soekarno mulai terasa lapar. Ia berhenti di sebuah warung sate ayam kecil di tepi jalan. Seorang penjual sate, yang baru saja membuka lapaknya, terkejut melihatnya.
"Pak, sate ayamnya lima tusuk saja?" tanya si penjual dengan tersenyum ramah, tak menyadari siapa yang sedang berdiri di depannya.
Soekarno tersenyum lebar. "Ambil 50 tusuk, saya sangat lapar," jawabnya dengan suara tegas namun bersahaja.
Si penjual pun terbelalak. "Lima puluh tusuk, Pak?" tanyanya, sedikit bingung, tetapi segera menyiapkan pesanan tersebut.
Soekarno duduk di tepi jalan, tepat di sebelah got yang berdebu, tanpa rasa sungkan. Ia menikmati sate ayam itu dengan lahap, berjongkok di pinggir jalan, seolah tak ada yang istimewa. Suasana sekelilingnya pun mulai berubah---orang-orang yang lewat mulai melirik, beberapa berhenti dan terheran-heran melihat Presiden mereka begitu sederhana.
Di saat yang sama, seorang lelaki berbadan tegap muncul di antara kerumunan. Wajahnya penuh amarah, dan langkahnya cepat. Pria itu adalah seorang mantan pejuang yang kini merasa kecewa dengan keadaan negara yang baru merdeka. Dia mendekati Soekarno dengan suara keras, "Presiden! Anda sudah merdeka! Tidak seharusnya Anda makan seperti ini! Anda harus menunjukkan diri lebih besar dari rakyat! Mengapa harus duduk di sini, di tepi got?"
Semua mata tertuju pada mereka. Soekarno berhenti makan sejenak dan menatap pria itu dengan tenang. "Kau benar, saya adalah Presiden, dan saya harus memberi contoh. Tapi saya bukan orang yang lebih besar dari rakyat. Justru, saya ingin merasakan hidup seperti mereka. Inilah yang disebut kebebasan---bukan hanya kebebasan negara, tetapi kebebasan hidup sebagai manusia."
Pria itu terdiam. Tetapi rasa marahnya masih belum hilang. "Jangan berpura-pura merendah, Pak! Kami semua tahu Anda berkuasa. Jangan biarkan kami merasa lebih rendah!"
Namun, sebelum Soekarno bisa membalas, penjual sate yang sebelumnya diam, kini angkat bicara. "Pak, saya tahu siapa Bapak, dan saya tahu sejarah kita. Saya dulu ikut berjuang di bawah perintah para pejuang kemerdekaan, dan saya tahu betul apa artinya kemerdekaan bagi kita semua. Bapak adalah presiden kami, tapi Bapak tak pernah membedakan diri dari kami."
Soekarno tersenyum mendengar kata-kata penjual sate itu. "Lihat, bahkan orang seperti Pak Sate ini pun paham betul tentang perjuangan. Inilah Indonesia yang kita dambakan---sederhana, bersama, dan tak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain."
Pria yang marah itu terdiam, tak tahu harus berkata apa. Wajahnya berubah, seketika hatinya tersentuh. Ia mundur, merasa malu dengan sikapnya sendiri. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu mulai berbisik, terkejut dengan ketenangan dan kebijaksanaan Soekarno. Beberapa bahkan mulai bertepuk tangan, kagum akan sikap rendah hati sang Presiden.
Namun, ketika Soekarno hendak bangkit, seseorang yang baru saja mendekat terkejut. "Pak! Itu sate saya! Saya yang pesan untuk makan sore ini!" seru seorang pemuda yang datang tergesa-gesa.
Soekarno menatapnya dengan tenang, lalu tertawa kecil. "Kamu boleh makan sisa-sisa sate saya, Nak, jangan khawatir. Saya sudah kenyang, dan ini bukan hanya tentang makanan, ini tentang merasakan kebebasan."
Dan saat itulah, dari kejauhan, suara kerumunan terdengar lebih ramai. Beberapa orang mulai berlarian menuju warung sate, dan Soekarno, dengan senyuman yang menenangkan, berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara, pemuda yang awalnya kecewa justru merasa bangga, karena bisa berbagi momen bersejarah dengan Presiden.
Soekarno, dengan penuh wibawa, berjalan menuju rumahnya. Tetapi tidak ada mobil mewah yang menjemputnya---hanya langkah kaki yang tegap, membawa harapan baru untuk bangsa ini.
Hari itu, Indonesia tidak hanya melihat seorang presiden yang bijaksana dan berwibawa, tetapi juga seorang pemimpin yang sangat manusiawi---seorang yang tidak takut untuk merendahkan diri demi kemajuan bersama. Dan bagi mereka yang menyaksikan, itu adalah pelajaran berharga tentang kepemimpinan sejati, yang tidak memandang pangkat, hanya melihat rakyat dengan hati yang tulus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H