Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semangat di Jembatan Merah

2 Desember 2024   15:17 Diperbarui: 2 Desember 2024   15:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Semangat di Jembatan Merah. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

30 Oktober 1945
Langit senja Surabaya memerah seperti tanda bahaya. Di Jembatan Merah, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berdiri dengan wajah penuh keyakinan. Para pejuang Indonesia, dengan bambu runcing di tangan, mengelilinginya seperti lingkaran api yang siap membakar.

"Dengar," kata Mallaby dalam bahasa Indonesia yang terputus-putus, "Kami datang untuk damai. Tidak perlu darah tumpah lagi."

Hasyim, seorang pemimpin milisi, maju selangkah. Matanya menyala tajam. "Damai? Damai apa? Tank-tank yang kau bawa itu untuk damai?"

"Kalian salah paham---"
"Kami paham! Penjajah tidak pernah membawa damai!" bentak Hasyim.

Keheningan tegang menggantung di udara, hanya terganggu oleh suara gesekan sepatu militer di aspal dan napas tertahan para milisi. Lalu, tanpa peringatan, letusan senjata memecah suasana.

"Cepat, mundur!" teriak Hasyim sambil menarik pasukannya. Mallaby roboh, darah merembes di seragamnya. Kekacauan pecah. Teriakan membaur dengan suara tembakan.

Di tengah kekacauan itu, seorang pemuda bernama Rengga mendekati Hasyim. "Apa yang terjadi, Bung? Siapa yang menembak?"
"Bukan waktunya bertanya, Rengga. Kita harus bersiap. Ini baru awal."

09 November 1945
Ultimatum datang seperti petir di siang bolong: Mayjen Robert Mansergh, pengganti Mallaby, menuntut para pejuang menyerah. Jika tidak, Surabaya akan dihancurkan.

Di sebuah rumah kecil, Bung Tomo berdiri di depan para pejuang yang berkumpul. Wajah mereka penuh luka, tapi mata mereka menyala oleh api perlawanan.

"Saudara-saudara," Bung Tomo memulai, suaranya tegas. "Mereka ingin kita tunduk, ingin kita menyerah. Apa yang akan kita jawab?"

"Tidak akan pernah menyerah!" seru Rengga, mengepalkan tinjunya.

Bung Tomo tersenyum. "Benar. Surabaya adalah kita. Mereka mungkin punya tank, pesawat, dan senjata modern. Tapi kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka hancurkan: keberanian!"

Fatimah, seorang petugas medis muda, maju ke depan. "Bung, kami hanya punya sedikit obat. Kalau ada serangan besar, aku tak yakin cukup."

"Fatimah," jawab Bung Tomo, "Obat tidak akan menyembuhkan luka sebesar semangat kita. Percayalah, doa kita akan menjadi perban terkuat."

10 November 1945
Subuh itu, Surabaya meledak dalam perang besar. Suara dentuman meriam dan tembakan senapan bercampur dengan teriakan para pejuang. Langit penuh asap, seperti neraka turun ke bumi.

Di Jembatan Merah, Rengga berdiri di depan tank yang bergerak perlahan. "Bambu runcing kita melawan tank? Kita gila, ya?" celetuk seorang pemuda di belakangnya.

Rengga tertawa. "Gila memang, tapi Surabaya butuh kegilaan kita!" Dengan bom molotov di tangan, ia berlari ke arah tank.

"Rengga, jangan!" teriak Fatimah dari jauh.

Rengga menoleh sekilas. "Doakan aku, Fatimah. Kalau aku gugur, katakan pada ibuku aku mati sebagai pejuang."

Ia melompat ke atas tank, melemparkan molotov tepat ke ventilasi. Ledakan besar mengguncang jembatan. Tank itu meledak, api membumbung tinggi.

Di tempat lain, Bung Tomo mengudara melalui siaran radio. Suaranya menggema di antara reruntuhan kota.

"Saudara-saudaraku, jangan gentar! Allahu Akbar! Hari ini kita buktikan bahwa Surabaya tidak akan tunduk! Pertahankan kota kita sampai titik darah penghabisan!"

Malam tiba, tapi perlawanan tak berhenti. Di bawah langit merah dan reruntuhan kota, Surabaya tetap berdiri. Para pejuang tahu, mereka mungkin kehilangan nyawa, tapi mereka tidak akan pernah kehilangan semangat. Perjuangan mereka adalah nyala api abadi untuk Indonesia yang merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun