"Saudara-saudara," Bung Tomo memulai, suaranya tegas. "Mereka ingin kita tunduk, ingin kita menyerah. Apa yang akan kita jawab?"
"Tidak akan pernah menyerah!" seru Rengga, mengepalkan tinjunya.
Bung Tomo tersenyum. "Benar. Surabaya adalah kita. Mereka mungkin punya tank, pesawat, dan senjata modern. Tapi kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka hancurkan: keberanian!"
Fatimah, seorang petugas medis muda, maju ke depan. "Bung, kami hanya punya sedikit obat. Kalau ada serangan besar, aku tak yakin cukup."
"Fatimah," jawab Bung Tomo, "Obat tidak akan menyembuhkan luka sebesar semangat kita. Percayalah, doa kita akan menjadi perban terkuat."
10 November 1945
Subuh itu, Surabaya meledak dalam perang besar. Suara dentuman meriam dan tembakan senapan bercampur dengan teriakan para pejuang. Langit penuh asap, seperti neraka turun ke bumi.
Di Jembatan Merah, Rengga berdiri di depan tank yang bergerak perlahan. "Bambu runcing kita melawan tank? Kita gila, ya?" celetuk seorang pemuda di belakangnya.
Rengga tertawa. "Gila memang, tapi Surabaya butuh kegilaan kita!" Dengan bom molotov di tangan, ia berlari ke arah tank.
"Rengga, jangan!" teriak Fatimah dari jauh.
Rengga menoleh sekilas. "Doakan aku, Fatimah. Kalau aku gugur, katakan pada ibuku aku mati sebagai pejuang."
Ia melompat ke atas tank, melemparkan molotov tepat ke ventilasi. Ledakan besar mengguncang jembatan. Tank itu meledak, api membumbung tinggi.