OLEH: Khoeri Abdul Muid
Nasib mereka bagai langit dan bumi. Ponco, lulusan SMA, bekerja sebagai Satpol PP. Silo, berbekal gelar doktor dari IKIP Yogyakarta, menjabat asisten bupati. Namun, perbedaan itu tak memutus persahabatan mereka. Hampir setiap sore mereka kongko, mendiskusikan apa saja, sambil menyeruput kopi tanpa rokok.
Hari ini, topik diskusi mereka adalah Pancasila, terinspirasi dari buku Negara Paripurna karya Yudi Latif yang baru saja dibaca Silo.
Ponco: "Kak Silo, aku dengar katanya waktu membahas Pancasila di sidang BPUPKI dan PPKI itu banyak banget perdebatan. Memangnya apa yang diperdebatkan?"
Silo: "Betul, Ponco. Salah satu perdebatan terbesarnya soal sila pertama. Awalnya, dalam Piagam Jakarta, ada frasa 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Tapi itu diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' untuk menjaga persatuan."
Ponco: "Hmm... Bukannya itu malah mengorbankan prinsip kelompok tertentu? Apakah itu adil?"
Silo terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan itu bukan hanya refleksi masa lalu, tapi juga menyentuh realitas sekarang.
Silo: "Memang sulit, Ponco. Tapi persatuan bangsa yang sangat beragam seperti Indonesia itu lebih penting. Kadang kita perlu kompromi demi kebaikan bersama."
Ponco: "Tapi, Kak, apa itu benar-benar kompromi? Atau sekadar mengalah?"
Silo tersenyum tipis, merasa terpojok oleh logika sederhana Ponco.
Silo: "Ponco, kamu tahu sendiri, tanpa persatuan, perjuangan kemerdekaan bisa gagal. Para pendiri bangsa sadar bahwa kebijakan itu akan lebih diterima oleh semua pihak."
Ponco: "Tapi sekarang, lihat, Kak. Orang-orang makin lupa nilai-nilai Pancasila. Apa mereka nggak belajar dari sejarah?"
Silo mengangguk, lalu membalas dengan nada serius.
Silo: "Mungkin, Ponco, kita sendiri juga perlu bertanya: sejauh mana kita sudah menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari? Misalnya, kamu sebagai Satpol PP, bagaimana cara kamu memperjuangkan keadilan sosial?"
Ponco terdiam. Ia teringat kejadian beberapa hari lalu. Ia diminta menertibkan pedagang kaki lima di pasar, termasuk seorang ibu tua yang berdagang demi biaya sekolah cucunya. Saat itu, ia merasa bersalah, tapi tugas adalah tugas.
Ponco: "Aku sering bingung, Kak. Apa aku harus ikut perintah, meski aku tahu itu bikin orang susah?"
Silo tersenyum lembut.
Silo: "Itulah tantangannya, Ponco. Pancasila bukan sekadar simbol, tapi pedoman. Kadang, kita harus berani mencari cara yang adil tanpa melanggar aturan. Kalau kamu merasa kebijakan itu kurang tepat, diskusikan dengan atasan. Gunakan musyawarah."
Ponco: "Musyawarah? Apa mereka mau dengar pendapatku, Kak?"
Silo: "Kalau tidak mencoba, kamu tidak akan tahu. Bahkan para pendiri bangsa berani berdebat panjang demi konsensus. Kita pun harus belajar dari keberanian itu."
Diskusi mereka berakhir dengan senyum dan pemahaman baru. Ponco kini melihat Pancasila sebagai semangat perjuangan, bukan sekadar teks hafalan. Ia bertekad untuk mencoba menerapkan nilai-nilai itu dalam pekerjaannya, sekecil apa pun langkahnya.
Silo: "Ponco, ingat. Pancasila itu bukan hanya hasil kompromi, tapi bukti bahwa kita bisa bersatu dalam perbedaan. Jangan menyerah untuk memperjuangkannya."
Ponco: "Terima kasih, Kak. Aku akan coba, mulai dari diriku sendiri."
Di bawah senja yang temaram, dua sahabat itu menemukan makna baru dalam persahabatan mereka---dan dalam Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H