Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermin Bangsa

1 Desember 2024   19:02 Diperbarui: 1 Desember 2024   19:52 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Ponco dan Silo duduk di warung kopi kecil di sudut kota, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Hujan rintik-rintik menyisakan hawa dingin yang menusuk, dan perasaan yang membebani pikiran Ponco. Ia mengaduk kopinya dengan gusar, matanya tajam menatap langit malam yang gelap.

Ponco membuka pembicaraan dengan suara lebih berat dari biasanya.
"Kak Silo, aku mau tanya, kenapa kita sering ngomongin Pancasila? Apa iya itu masih relevan dengan keadaan kita sekarang?"

Silo menatap Ponco dengan tatapan serius. Silo, yang selama ini dikenal tenang dan bijak, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar pertanyaan biasa.
"Kenapa kamu tanya begitu, Ponco?"

Ponco mendesah panjang, meletakkan cangkir kopinya, lalu melanjutkan dengan suara yang mulai penuh kekesalan.
"Aku sering lihat di sekitar kita, Kak. Banyak yang bilang Pancasila itu jadi simbol yang cuma dijadikan pajangan, tapi gak dipraktikin. Bahkan banyak pejabat yang ngomong Pancasila, tapi nyatanya korupsi merajalela. Gimana bisa kita percaya kalau Pancasila itu masih relevan buat kita, kalau yang diterapin malah kebalikannya?"

Silo terdiam, namun matanya semakin tajam, seperti hendak menembus Pikiran Ponco. Ia tahu ini bukan sekadar diskusi ringan.
"Kamu kecewa, Ponco?"

"Kecewa? Jelas! Aku liat banyak orang yang bilang 'Bhinneka Tunggal Ika', tapi kenyataannya kita masih sering berperang soal agama, suku, dan politik. Bahkan, aku sendiri sering dipandang sebelah mata hanya karena aku kerja di Satpol PP!"

Silo menarik napas panjang, tampak berpikir sejenak. Hujan semakin deras, suara gemericiknya menambah kesan tegang di antara mereka.
"Ponco, kamu benar. Pancasila memang bukan sekadar kata-kata indah di atas kertas. Tapi kamu gak bisa menilai semua orang atau seluruh bangsa dari segelintir orang yang salah paham atau menyalahgunakan kekuasaannya. Pancasila itu hidup dalam diri kita. Mungkin kita belum sempurna, tapi jangan sampai kita kehilangan harapan karena kesalahan yang dilakukan sebagian orang."

Ponco membentak, agak terkejut dengan ketegasan Silo.
"Jadi, apa kita harus diam aja dan menerima semuanya begitu saja? Apa kita harus terus-terusan menutup mata terhadap yang salah hanya karena ada orang yang masih pegang prinsip baik?"

Silo menatap Ponco dengan tegas, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam.
"Kita gak bisa gontok-gontokan hanya karena sebagian orang gagal memahami Pancasila. Tugas kita adalah menerapkan nilai-nilai itu dalam hidup kita, meski di tengah keadaan yang gak sempurna. Kita bukan hanya mengkritik, Ponco, tapi kita juga harus jadi contoh."

Ponco terdiam. Ia merasakan tensi antara mereka, ketegangan yang begitu tajam---antara keputusasaan dan harapan.
"Tapi, Kak, kadang aku merasa capek... seperti gak ada perubahan. Kenapa kita selalu harus jadi contoh, sementara yang lain terus menerus salah?"

Silo menatapnya dengan lembut, tetapi kata-katanya sangat dalam.
"Ponco, itu bukan soal mengubah orang lain. Itu soal mengubah diri kita sendiri dulu. Pancasila itu hidup dalam tindakan kita, bukan hanya di buku atau pidato. Kalau kamu ingin jadi bagian dari Indonesia yang paripurna, kamu harus mulai dari diri sendiri. Gak ada yang gampang. Tapi kita bisa memulai dari hal-hal kecil."

Ponco menunduk, perasaan berat seakan mencengkram dadanya. Dalam keheningan malam itu, ia merenung. Akhirnya, ia berkata dengan suara pelan,
"Jadi, aku gak bisa hanya nyalahin orang lain, ya? Aku harus mulai dari diri sendiri."

Silo tersenyum.
"Betul, Ponco. Jangan hanya berbicara tentang Pancasila. Jadikan itu panduan hidupmu."

Ponco menatap Silo dengan penuh rasa terima kasih. Ada sesuatu yang mulai pudar dalam hatinya---rasa pesimis yang sudah lama menggerogoti. Mungkin, Pancasila memang lebih dari sekadar teori. Itu adalah panduan untuk hidup, dan mungkin inilah saatnya untuk memulai.

Di luar, hujan mulai reda, membawa angin segar yang menenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun